6. Kedai Laras

988 237 64
                                    

Djakarta, Indonesia
22 September 1964

Kini sang cakrawala tampak aram temaram. Sang surya enggan memamerkan kembali cahayanya. Awan hitamlah yang kini mendominasi seluruh cakrawala. Sebentar lagi Djakarta akan diguyur oleh tangisan awan hitam. Dan akhirnya, suhu merendah. Tekanan meninggi.

Hal tersebut justru membuat Mawar tersenyum. Rasa-rasanya ia hanya ingin meminum secangkir teh hangat di Kedai Laras. Diingat-ingat kembali Mawar sudah jarang mengunjungi Laras di Kedainya.

Sejurus kemudian, Mawar berpikir untuk mengajak Jeffrey kesana. Ide yang bagus, Mawar!

Gadis berkebaya itu menggelung rambut panjangnya dan mengenakan selendang merah jambu di atas kepalanya. Saat akan berjalan menuju pintu rumah, Sunarto menahan anak gadisnya.

"Anak Bapak mau kemana mendung begini?" tanyanya.

Karena mendengar suara bapaknya, Chandra ikut mengalihkan fokus ke adiknya, "Loh?"

"Mau bantu Laras, Pak di Kedainya. Toh, aku juga udah lama gak main kesana." jawab Mawar dengan senyumannya. Berusaha meyakinkan Ayahnya dan saudara laki-lakinya tersebut.

"Yowes, bawa payung ya!"

Chandra membawa satu payung bewarna merah dan Mawar menerimanya dengan senyuman lebar. "Matur nuwun, Mas! Aku pergi ya Pak, Mas!"

"Nggih!"

oOo

Mawar berharap bahwa hujan belum turun, saat ia sedang dalam perjalanan menuju rumah Jeffrey ataupun Kedai Laras. Semoga saja.

Setelah berjalan beberapa menit, Mawar sampai di depan rumah Jeffrey. Dengan keadaan Jeffrey yang sedang berdiri mematung menatap Mawar di teras rumahnya.

"Selamat siang, Tun Jeffrey. Mau minum teh di Kedai Bu Ratih?"

Jeffrey tersenyum. "Tentu saja. Saya ambil sebentar payung." saat akan berbalik, Mawar menahan Jeffrey untuk masuk ke dalam rumah.

"Gak usah, Tuan. Aku udah bawa payung, kok." ucap Mawar sembari mengangkat payung merah yang ia genggam ditangan kanannya.

"Baiklah. Mari,"

Keduanya-pun berjalan menuju Kedai Laras. Hujan belum turun, hanya saja langit masih di kelilingi oleh awan hitam. Awalnya tak ada suara. Mawar sedang bungkam. Sedangkan Jeffrey sibuk dengan pikirannya.

Sibuk memikirkan topik pembicaraan. Ia merasa harus berbicara dengan gadis disampingnya ini. Namun, apalah daya pemuda tersebut tak menemukan topik yang bagus untuk memulai percakapan.

"Uhm, semoga hujan gak turun dulu waktu kita lagi di jalan menuju kesana," andai Mawar dengan kepala mendongak menatap langit.

Jeffrey menatap Mawar sejenak, lalu menunduk. Diam-diam terpesona dengan Mawar hari ini. Rambutnya ia sanggul, kebayanya sangat rapih. Serta cocok dengan warna kulitnya. Dan jangan lupakan selendangnya.

Jeffrey merasa ia sedang melihat bidadari.

"Semoga saja. Apa tidak sebaiknya kita mempercepat perjalanan?" jawab Jeffrey memberi usulan yang langsung disetujui oleh Mawar.

Mereka mempercepat langkah kaki agar hujan tidak segera lebih dulu mengguyur sebelum mereka tiba di tempat tujuan. Awalnya sudah ingin sampai, namun takdir berkata lain. Hujan turun tanpa komando dengan derasnya.

IroniㅣJaehyun, RosèTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang