10. Dibawah Rembulan

968 185 34
                                    

Den Haag, Nederland
4 November 1964
12.36 Waktu setempat


Dengan perasaan sedikit lega, Jeffrey menyandarkan punggungnya. Matanya ia pejam, dibantu dengan punggung tangan yang begitu kekar. Kini jam pelajarannya dengan Profesor Defras telah usai digantikan oleh jam bersantai. Selepasnya, Jeffrey berencana untuk bermalas-malasan dikasur tercinta. Namun hal itu tak terlaksana saat Defras menaruh dua cangkir kopi hitam di atas meja berbahan kayu tersebut.

Defras duduk tepat di hadapan Jeffrey, senyum menawan tak lupa ia tunjukkan. Namun pemuda didepannya ini dengan sigap menegakkan kembali tubuhnya. Lalu mengernyit menatap lelaki setengah baya tersebut. Defras terkekeh tatkala melihat reaksi anak tunggal kawannya ini. Sudah lama sekali semenjak Jeffrey masih mengenakan kain pembarut, (baca: Bedung) dan—Hey, lihatlah! Kini ia sudah tumbuh serta pantaslah terikat dalam sebuah komitmen.

"Santai saja. Kita hanya akan mengobrol layaknya seorang ayah dan anak laki-lakinya. Jadi, tidak ada Profesor dan muridnya disini." Defras tersenyum teduh menatap Jeffrey, lalu menyesap kopi hitamnya perlahan.

Awalnya pemuda van Leander itu melongo sebentar, dan akhirnya menangkap maksud dari Bapak empat anak ini. Sejurus kemudian ia ikut menyesap kopi hitam buatan Anabela tersebut.

Melihat Jeffrey juga ikut menyesap kopinya, Defras membuka suaranya kembali. "Jadi, boleh aku tahu kenapa kamu sangat tertarik dengan komunisme dan pejuangnya?"

Ada jeda beberapa saat sebelum Jeffrey menjawab pertanyaan Defras, "Memangnya ... menuntut ilmu itu .. harus ada alasannya?" jawaban tersebut lantas membuat Defras terkekeh.

Jeffrey mengernyit heran. Apa ada yang lucu dengan perkataannya?

"Kamu tak salah, nak. Mari aku jelaskan lebih detilnya padamu— " Defras membenarkan letak posisi cangkir kopinya. Kemudian menatap Jeffrey. Tepat pada maniknya, "Sesuatu yang kamu lakukan itu pada biasanya didorong oleh beberapa motivasi. Maka, aku tanya sekali lagi, apa motivasimu?"

Pemuda dengan lesung pipit ini mengernyit sebentar. Merasa heran dengan sosok didepannya ini. Namun, ia lebih heran dan bingung pada dirinya sendiri. Sebetulnya, apa motivasinya mempelajari hal ini?

Sekelebat bayangan seseorang muncul dalam benaknya. Hatinya bergemuruh.

"Aku mempunyai rasa penasaran yang amat sangat besar, jika Paman belum mengetahuinya. Aku akan berusaha mencari tahu hingga aku puas dengan jawaban-jawaban yang aku dapatkan atas semua pertanyaan yang menghantui pikiran. Maka dari itu, aku menyimpulkan bahwa ini adalah sebatas rasa penasaranku terhadap ilmu."

Dengan mantap Jeffrey menjawab semua rasa penasaran Defras. Namun tampaknya Bapak van der Boor ini belum merasa puas dengan jawaban yang diberikan. Ada hal yang mengganjal, pikirnya.

"Baiklah. Kalau begitu, bagaimana kehidupanmu di Indonesia?"

Tanpa permisi sebuah senyuman terlukis indah pada kurvanya, "Tentu saja menyenangkan!" sorot matanya bersinar, memperlihatkan begitu semangatnya ia membicarakan semua hal mengenai Indonesia.

Defras tersenyum simpul. "Suasananya bagaimana?"

Sekelebat bayangan mengenai suasana disana yang sangat asri nan indah. Hal tersebut mengingatkan Jeffrey saat ia dan Mawar berjalan-jalan mengelilingi kampung. Dan memandangi lapangan yang dihiasi oleh banyak bunga-bunga.

"Ramai. Namun masih memiliki suasana asri dan indah." Mendengar hal tersebut membuat Defras bisa merasakan bagaimana asrinya Indonesia karena melihat bagaimana Jeffrey berekspresi.

IroniㅣJaehyun, RosèTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang