"I won't be silenced
You can't keep me quiet
Won't tremble when you try it
All I know is I won't go speechless."▪▪▪
"SUDAH sampai."
Sahutan pelan Alaric di sampingku membuatku tersadar dari lamunan. Mobil Alaric telah berhenti di depan sebuah gapura kompleks perumahan yang kutinggali, tepat di samping posko satpam berada.
Aku menoleh dan menatap gapura yang menjulang tinggi itu. Selama ini, Alaric memang tidak pernah mengantarkan ataupun menjemputku tepat di depan rumah. Alasannya tentu saja agar tidak ketahuan orangtuaku.
Karena sebenarnya, selama ini kami berdua backstreet.
Itulah kenapa aku nyaris tidak pernah bercerita apapun kepada teman-teman kampusku bahwa aku memiliki pacar--kecuali Aluna tentunya, sebagai sahabat sehidup sematiku. Dan mungkin hari ini Gabriel bertambah menjadi satu orang yang tahu mengenai rahasiaku tersebut, tapi aku tidak yakin dia akan membocorkannya ke siapapun itu.
Bukan apa-apa, hanya saja aku ingat betul bahwa orangtuaku selama ini melarangku keras berpacaran. Berteman dengan anak laki-laki boleh--meskipun kalau bisa jangan terlalu dekat, tapi pacaran tidak. Aku tidak tahu jelas apa alasan mereka, dan aku juga sudah terbiasa dengan keputusan mereka tersebut.
Toh, bukan sekali dua kali orangtuaku pernah berlaku keras padaku. Dulu, aku sempat mengikuti 2 mata les, yaitu les piano dan bela diri karate. Aku sebenarnya lebih menyukai piano karena bisa dibilang musik adalah passion-ku, namun orangtuaku sangat menginginkanku belajar bela diri sehingga kuturuti.
Suatu kali, dengan bandelnya aku sengaja bolos kelas bela diri dan malah tampil di salah satu acara sebagai pengiring piano. Orangtuaku mengetahui ini dan marah besar. Mereka memberhentikan les pianoku dan menambah jadwal les karate. Apalagi setelah itu, mereka menambahkan les bahasa Perancis padaku untuk menggantikan les piano yang hilang.
Tidak heran sekarang aku sudah menyabet sabuk hitam karate, dan dapat dengan fasih berbicara dalam bahasa Perancis. Tapi, jujur itu tidak membuatku bangga, karena aku masih amat menyayangkan bahwa aku harus berhenti belajar di les piano yang amat kusukai. Apalagi, sejak saat itu mereka melarangku bermain piano. Menyedihkan sekali.
"Angel, kita sudah sampai." Suara Alaric membuatku tersadar kembali dari pikiranku. Sebenarnya ada satu hal yang dari dulu ingin selalu kulakukan bersama Alaric, tapi aku tahu keinginanku ini akan amat memancing masalah.
Meskipun begitu, aku sudah muak. Aku muak terus dikekang. Aku mencintai orangtuaku tentu saja, tapi aku juga ingin mereka setidaknya bisa menghargai apa yang kuinginkan.
Kalau aku bicara baik-baik, mereka pasti akan mengerti, bukan?
"Al, aku lagi malas jalan." Aku menoleh padanya. "Bisa antar aku sampai depan rumah?"
Alaric tampak terkejut. Dia menatapku heran. "Angel, kita udah sering bicarain ini, kan? Bukannya kamu sendiri yang bilang, orangtua kamu gak akan suka?"
Aku tersenyum tipis. "Aku berubah pikiran. Orangtuaku memang gak akan suka, tapi aku ingin melakukannya. Aku ingin mereka tahu."
"Tapi, mereka pasti akan marah."
"Gimana kamu bisa tahu? Kan belum pasti juga mereka akan marah, kecuali kalau kita yang membuktikannya sendiri."
Alaric terdiam. "Kamu serius, Malaikat?"
Aku suka panggilan itu. "Iya."
Bisa kulihat keraguan masih memenuhi raut wajahnya. Dengan gemas, kubuka pintu mobil dan aku memutari kap mobil hanya untuk membukakan pintu untuknya dan langsung menariknya keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
alaric
Genç KurguKetika pacar yang begitu kamu cintai pada akhirnya membunuh kedua orangtuamu, apa yang kamu rasakan? Bagi Angelica, hal tersebut merupakan mimpi buruk. Belum selesai masalah tersebut, tak lama sebuah bencana tsunami mahadahsyat menyerangnya dan kota...