Azka pov
Setelah tiga puluh menit mengendarai ninja merah kesayanganku di jalanan Jakarta yang penuh polusi dan beberapa titik macet, akhirnya aku sampai di komplek perumahan dengan selamat. Aku memang sengaja untuk tidak mengebut, enggan mengulang kejadian tadi pagi dimana Alifa tak bernapas.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas malam, terlalu malam memang, mungkin kebanyakan berada di toko buku tadi. Mungkin kalo Tante Rita sama Om Andi ada di rumah beliau akan marah karena membawa anak gadisnya pulang terlalu malam. Tapi kan mereka sedang tidak ada di rumah. Bahkan menurutku mereka tidak pernah menganggap Alifa penting. Di rumah saja kadang nggak di anggap. Mereka seperti berada di dunia yang berbeda.
Ngomong-ngomong soal anak gadisnya Tante Rita, si Alifa, dia udah ketiduran di pundakku sepuluh menit sejak keluar dari area mall. Aku sih oke-oke aja asal Alifa nggak tidur di pundak cowok lain. Apalagi cowok tadi yang ketemu dia di mall.
Eh, jadi penasaran siapa ya cowok tadi? Kenapa Alifa sama tuh cowok kayak ada sesuatu gitu? Pakek main peluk segala lagi. Eh, kenapa juga gua musti mikirin nih anak manja satu?Aku menggeleng menghilangkan bayangan kejadian saat Alifa dipeluk cowok di toko buku tadi. Entah mengapa mengingatnya buat aku jadi merasakan gejolak marah, gusar, dan muak di diriku.
Cemburu?.
Bukan!.
Mungkin sesuatu yang sedikit mirip dengan itu. Tapi cintaku masih tetap untuk dia.
Pemandangan rumah Alifa yang tampak dari beberapa meter membuatku tersadar dan memelankan laju motor. Seorang satpam yang ku ketahui bernama Pak Salim membuka gerbang saat aku hendak membunyikan klakson.Setelah menggumamkan terima kasih pada satpam berusia setengah abad itu, aku segera masuk dan memarkirkan motorku di garasi yang masih kosong. Ternyata Tante Rita dan Om Andi belum pulang.
Aku hendak menggendong tubuh Alifa setelah mematikan motor. Kemudian melepas helm dan menaruhnya di salah satu rak dengan tangan yang satu memegangi Alifa agar tidak jatuh.
Lalu turun dari atas motor dengan perlahan dan hati-hati takut membangunkan gadis berambut panjang itu.Ketika ku lihat Alifa berbeda dari biasanya, sontak aku mengernyit bingung. Mukanya memerah dan agak bengkak. Napasnya juga agak susah, kayak orang asma.
“Bun.” Erangnya lemah dengan napas yang putus-putus.
Aku tersentak saat aku memeriksa dahinya yang ternyata sangat panas. Ku teliti lebih lanjut kulitnya dan lagi-lagi aku tersentak saat melihat banyak ruam dan bentol di punggung tangannya. Alergi? Segera saja ku pakaikan jaketku ke tubuhnya yang terlapisi dengan kardigan lengan panjang. Kunaiki kembali motor ninja ku dan segera melesat keluar garasi yang otomatis tertutup kembali saat aku keluar beberapa detik.
“Loh, Den Azka kok kaluar lagi atuh?” tanya Pak Salim heran dengan logat sundanya.
“Ada urusan pak, kalo Om sama Tante nyariin suruh telpon saya aja ya.” Kataku yang dibalas anggukan olehnya.Rupanya Pak Salim tak curiga dengan Alifa yang ada di belakangku. Kepalanya yang kusandarkan di pundakku dengan tangan kiriku yang memegang tautan tangannya di perutku agar tak terlepas, mungkin mengira Alifa sedang tidur.
Satpam itu kemudian membuka gerbangnya dan secepat kilat ku lajukan motorku menuju rumah sakit. Tak peduli angin malam yang menghantam kulit tubuhku yang terbalut kaos putih polos ketat, menciptakan rasa dingin yang cukup menusuk kulit. Samar-samar ku dengar Alifa menggumamkan : “S-sa-kit” dengan napas yang terputus-putus.
“Bentar Al, lo harus tahan bentar lagi.”
“Mala... Mala...” Ucap Alifa yang jelas sekali aku dengar karena tadi lupa tidak memakai helm.Tanpa sadar aku menambah laju motorku seiring dengan gumamam Alifa. Kurasa dia semakin parah hingga bergumam yang aneh-aneh.
Entahlah, hatiku kini dipenuhi dengan perasaan khawatir yang amat besar mendengar helaan napas Alifa yang putus-putus dan susah.
***
Setelah Alifa masuk ke ruang UGD, aku menunggu di kursi tunggu yang terletak di depan pintu yang tertutup itu. Tempat dimana dokter yang ditemani beberapa suster menangani Alifa.
“Eh, ente Ka. Ngapain? Bukannya ente lagi cuti ya?” tanya Dokter Rayhan.
“Iya, lagi nganterin cewek."
“Cewek? Wah, akhirnya lo move on juga dari Mala.”
“Gue belum move on, malah gue benci sama gadis yang ada di dalem. Cuman gue mau ngedeketin dia karna dia indigo.”
“Awas lho, ente kagak boleh nyakitin cewek. Cewek itu dimuliakan dalam Islam. Rasulullah aja memperlakukan Aisyah dengan begitu istimewa dan romantis. Ente kudu inget kalo ibu ente juga perempuan.
“Benci ama cinta itu cuma dibatesi sama satu garis super tipis yang bahkan nggak keliatan. Ingat itu, Ka.” katanya kemudian pamit karena ada urusan dengan pacarnya yang seorang suster.
Cukup lama aku duduk merenung sendiri hingga seorang dokter yang tadi menangani Alifa keluar diikuti beberapa suster. Kemudian dokter itu menghampiriku dan mengajakku ke ruangannya setelah aku menanyakan keadaan Alifa sepeninggal suster itu.
Dan disinilah aku berada sekarang.
Di ruang yang seakan mengintimidasiku.
Hingga aku takut dan merasa... bersalah?.Ruangan empat kali lima meter itu terlihat begitu rapi. Hanya berisi beberapa perabotan yang menunjang kinerja seorang dokter. Dengan beberapa hiasan foto dan poster kesehatan yang menggantung di dinding ruangan bercat putih bersih itu.
Juga ada meja perawat dan beberapa almari di sudut ruangan. Di depan salah satunya berdiri seorang perawat yang tengah memasukkan sebuah buku tipis yang aku duga adalah data pasien.
Di tengah ruangan ada meja kerja dengan dua tempat duduk berhadapan. Satu di depan meja dan kududuki, dan satunya dibelakang meja diduduki dokter yang ku tahu bernama Faisal dari name tag di dada kanannya.
“Ada apa dokter memanggil saya kemari?” tanyaku yang sudah bosan dengan keheningan selama beberapa menit. Demi apapun, ini bukan waktunya untuk membisu.
Dan, kurasa ini bukan waktunya berbasa-basi menanyakan keadaan Alifa. Karena sepanjang yang ku tahu tentang dunia kedokteran, keluarga pasien tidak akan dipanggil ke ruang dokter bila tidak ada hal serius yang memerlukan tempat yang lebih privasi.
Dibanding dengan koridor rumah sakit yang ramai pengunjung dan beberapa suster dan dokter yang berlalu lalang, ruang kerja dokter adalah tempat yang paling privasi di rumah sakit. Lagipula raut muka dokter itu menunjukkan sedang serius sepertinya.
Mengingat kata serius, aku jadi tercubit dengan keadaan Alifa. Apakah gadis itu keadaannya begitu serius?. Mengingat aku yang dipanggil ke ruang dokter itu, berarti ada hal serius menyangkut keadaan Alifa, bukan?.
“Tapi kalo ntar terjadi sesuatu ama gue, gue bakalan salahin lo.” Serta merta kata-kata Alifa terngiang di kepalaku. Membuatku semakin merasa kacau.
Dokter tersebut menghela napas setelah menerima selembar kertas dari seorang suster yang tadi kulihat sedang memasukkan data pasien ke lemari. Mengucapkan terima kasih yang ditanggapi dengan ramah, kemudian suster itu berlalu meninggalkan aku dan dokter itu.
Keheningan kembali menyelimuti kami berdua. Dokter itu yang tengah melihat kertas berukuran A4 itu dan aku yang kacau dengan pemikiran yang terus melintas di kepalaku. Dengan kalimat Alifa yang mengatakan: “Tapi kalo ntar terjadi sesuatu ama gue, gue bakalan salahin lo.”
Keheningan diantara kami terpecah ketika dokter itu membuka percakapan setelah beberapa menit hanya diam membiarkanku dengan pemikiran-pemikiran negatif dikepalaku.“Saya hanya ingin meminta persetujuan anda sebagai penanggung jawab pasien untuk menanda-tangani surat ini.” Dokter tersebut menyodorkan selembar surat beserta bulpoin di atas meja.
Aku menerimanya dengan heran dan sedetik setelah membacanya aku sukses terbelalak lebar dengan isi surat tersebut.
“Surat Pemindahan Pasien ke Ruang HCU??!!!”

KAMU SEDANG MEMBACA
Remember
RomanceAlifa Hasna Kamila adalah cewek yang mempunyai banyak sekali kemampuan diluar nalar. Gift dari Yang Maha Kuasa namun begitu menyiksa banginya. Ditambah dengan ingatannya yang telah hilang membuat orang yang mengenalnya menganggap ia sebagai cewek an...