VII : Timbal Balik

94 35 17
                                    

Tap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tap. . Tap. . Tap. .

Derap langkah kaki jenjang Seanne terdengar jelas menggema di lorong lantai satu ujung area gedung kelas tambahan yang berada dekat dengan parkiran yang biasa digunakan saat digelar acara besar.

Derap langkah kakinya tidak terlalu cepat namun memiliki keyakinan ia menuju ke suatu tempat familiar. Pandangannya lurus tak berekspresi. Walaupun pikirannya tengah bergelut omong kosong tak berguna bagi kehidupan sekolahnya, namun pandangannya tetap fokus pada setiap pijakan.

Gadis itu hanyalah seorang adik tingkat yang terbutakan oleh perasaan sekilasnya pada Jenando. Ia tak akan pernah melihat persoalan siapa Seanne sebenarnya, bagaimana selama ini Seanne berusaha mati-matian menyeimbangkan hidupnya agar tidak tergelincir dalam retakan masa lalunya.

Memang apa yang bisa di dapatkan jika hanya dengan melihat sampul kokoh berkilauan yang menggoda tanpa tau isi sebenarnya dari dalam sampul itu?

Jelas, ia hanya akan mendapat rasa kecewa dari ekspektasinya yang tanpa disadari landasan.

Langkahnya melambat dan terhenti tepat di hadapan pintu bertanda Art room disana. Tangannya mengambang di udara, menarik napas panjang sebelum menggeser pintu berbahan kayu itu.

Karena masalah wanita-wanita Jenando yang tak terduga, ia lupa sesaat bahwa ruangan ini bukan lagi miliknya seorang. Tubuh tinggi imbang berisi itu terlihat berbaring dibawah sinar mentari pagi yang memasuki celah jendela.

Perlahan jemarinya menutup kembali pintu di belakangnya, berusaha meminimalisir derik suara agar tak membangunkan sang penghuni baru tempat persembunyiannya.

Seanne mendekat dengan telapak tangan mungilnya yang terangkat memblokir silau sinar mentari yang tampak mengganggu.

Elkhairo Natala. Benar lelaki ini.. mungkin bisa saja menjadi jalan keluarnya agar tidak terlibat nuansa romansa dengan Jenando lagi. Pikirnya mengawang sebelum kembali tersadar dari pikiran kotornya yang merajalela.

"Sampai kapan lo mau angkat tangan lo kayak gitu?" Celetuknya menggenggam pergelangan tangan Seanne tanpa aba-aba yang membuat sang empunya tersontak menarik diri.

"Lo keliatan nggak nyaman sama sinarnya— ini lepasin dulu!" Ujar Seanne berusaha melepaskan cengkraman pada lengannya.

Elkhairo menatapnya datar, ia tampak tak berniat melepasnya. "Gue kira lo udah sepenuhnya kasih tempat ini ke gue." Cengkramannya melonggar memberi celah untuk Seanne melepaskan diri.

"Siapa bilang!?" Heran Seanne mengelus pergelangan tangannya.

Kedua bahu Elkhairo terangkat acuh sebelum menggulingkan tubuhnya kembali ke posisi semulanya, kali ini dengan memunggungi Seanne.

NAWASENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang