III : Penghuni Baru

172 62 38
                                    

Semilir angin berhembus memasuki celah jendela yang sengaja dibuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semilir angin berhembus memasuki celah jendela yang sengaja dibuka. Menerobos masuk menerpa kulit Seanne yang tengah bersandar pada dinding yang tak jauh dari kaca Jendela. Pandangannya terfokus pada satu buku tebal yang ia letakkan pada pangkuannya.

Sunyi dalam ruangan begitu mendukung Seanne untuk tenggelam pada isi buku yang mengalirkan berjuta-juta imajinasi hingga tak terasa kedua jarum jam berputar begitu cepat.

Drek..

Suara pintu tergeser dengan cepat meruntuhkan dunia imajinasi yang telah Seanne bentuk, kepalanya terangkat melihat dalang yang baru saja memasuki art room.

"Lo lagi?"

"Masalah buat Lo?"

Seanne mengalihkan pandangannya kembali pada lembaran buku yang ia baca. "Ngapain kesini lagi? Kalau buat tidur mending Lo pulang aja sekalian."

"Ini fasilitas sekolah kalau Lo lupa, gue juga murid disini."

"Sebelum ini nggak ada murid Meta yang tertarik sama art room diluar jam mapelnya."

Tamu tak diundang itu tanpa ragu melangkah untuk duduk disamping Seanne setelah menutup kembali pintu. "Terus Lo ngapain disini?"

Pandangan Seanne terangkat membuat keduanya bertatapan, "Gue suka disini."

"Kata Lo 'murid Meta nggak ada yang tertarik sama ruangan ini' Lo bagian dari murid Meta."

Seanne menutup buku yang ia baca, lalu memiringkan tubuhnya untuk menatap lawan bicaranya dengan lebih serius, "Gue nggak bilang 'semua murid' ya! Sembilan puluh lima persen, jadi gue masuk lima persennya." Jelas Seanne mengibas-ngibaskan telapak tangannya menunjukkan lima jemarinya.

"Kalau gitu gue juga masuk lima persen murid Meta."

"Elkhairo!"

Elkhairo tertawa, "Sensi amat Lo." Celetuk Elkhairo sembari menyodorkan sandwich pada Seanne.

Melihat itu alis Seanne terangkat sebelah melontarkan pertanyaan tak bersuara.

"Nih bakwan." Canda Elkhairo menimang-nimang sandwich digenggamnya, menunggu roti lapis itu diterima.

Seanne menyelipkan anak rambutnya dibelakang telinga. "Gue tau mana bakwan mana sandwich ya."

"Kenapa masih nanya kalau gitu? Gue sodorin ke lo ya jelas ini buat di kasih ke lo, bukan buat gue pamerin."

Helaan napas terasa berat dari bibir Seanne sembari meraih sandwich berbentuk segitiga yang dilapisi plastik tipis. Ia berpikir untuk menerimanya dibanding harus berdebat lebih jauh dengan sosok tamu tak diundangnya ini. Tubuh Seanne kembali bersandar pada dinding, ia letakkan sandwich yang ia terima di atas buku miliknya.

NAWASENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang