Anak kecil Merindukan Nabi Muhammad S.A.W (2)

457 33 0
                                    

Saat larut malam ketika semua mahluk terlelap, Zaid kecil terbangun. Sayup-sayup terdengar suara Paman Atib sedang melaksanakan sholat tahajud. Perlahan Zaidpun bangkit dan pergi ke sumur. Dibasuhnya tubuh yang kurus dengan air wudlu. ”Subhanallah,” ucapnya sambil mengagumi langit malam yang gemerlap. Teringat ia akan syair musafir yang pernah lewat hendak menuju Madinah, yang didendangkan dengan penuh rasa cinta.

Yaa... Muhammad...
Ini aku musafir yang dalam kesusahan ...
Berjalan jauh harungi batu-batu tandus.
Tertatih-tatih menuju tempatmu berdo’a.

Lihatlah kakiku melepuh.
Rasanya sakit, Yaa...Muhammad...
Kau lihat bajuku koyak dan keringatku kering.
Betapa aku menderita, Ya... Muhammad...

Kuketuk pintu rumahmu dengan rasa malu
Kutakut aku terlalu hina untukmu
Bukalah pintumu untukku Yaa.. Muhammad...
Engkaulah sahabat dan Ayah orang-orang yang menderita.

Bukakan pintu dan kutatap wajahmu, sambil melepas tangis rindu..
Tersenyumlah padaku dan katakan ”Wahai hamba Allah...
Ini adalah rumah kasih sayangmu... Selamat datang dalam genggaman Persaudaraan Iman dan Cinta."

Perlahan Zaid berdiri disamping Paman Atid dan kemudian melakukan sholat Tahajud. Selesai sholat mereka berdua duduk menghadap jendela sambil menikmati cahaya bulan yang mempesona.

Paman..” panggil Zaid dengan nada sayu .
Paman Atib menoleh ke arah anak saudaranya itu. ”Ada apa Zaid?” tanyanya sambil tersenyum.

”Benarkah Paman besok akan pergi?” tanya Zaid sambil tetap menatap bulan. Paman Atib terdiam sejenak. "Ya... Zaid, Paman harus pergi...” jawabnya kemudian.

”Pergi kemana?” tanya Zaid.
”Ke Madinah....” jawab Paman Atib.

Zaid menoleh dan menatap wajah pamannya dalam-dalam.

"Paman akan bertemu Rasulullah? tanyanya perlahan.
Paman Atib tersenyum dan mengangguk. ”Insya ALLAH...” jawabnya.

Apakah Rasulullah seorang yang kaya raya, Paman ?” tanya Zaid.

”Rasulullah adalah seorang Nabi, bukan seorang raja, Zaid,” jawab Paman Atib.
Beliau tidur diatas tikar yang serupa dengan yang kita pakai. Beliau memakai pakaian seperti yang kita pakai. Beliau juga memakan makanan seperti yang kita makan, yaitu beberapa butir kurma dan segelas air. Sesekali beliau minum susu kambing itupun hadiah dari para tetangganya”.

Zaid termenung. Tadinya dia berharap bahwa Nabi akan lebih kaya daripada Raban. Tetapi kini dia tercenung. Kerana kekayaan Nabi tidak lebih dari keluarganya sendiri, bagaimana mungkin seorang yang tidak kaya bisa ditaati semua orang?, bukanlah Raban yang kaya itu tinggal mengatakan sesuatu maka semua keinginannya akan terkabul.

"Kalau Nabi bukan orang kaya, bagaimana Beliau bisa membantu kita, rakyat yang miskin ini, Paman?” tanya Zaid keheranan.

Paman Atib tersenyum. ”Nabi kita punya kasih sayang, wahai Zaid. Dengan kasih sayang itulah Nabi menolong semua umatnya,” kata Paman Atib dengan lembut.
"Bila beliau ada sedikit uang, akan dibagi-bagikannya kepada para fakir miskin. Beliau juga mengajarkan pada orang kaya, agar senantiasa membantu saudara-saudara mereka yang kesusahan. Kasih sayang Nabi tidak terbatas, wahai Zaid. Kasih sayang Nabi meliputi seluruh alam.”

Zaid tercenung. ”Subhanallah....” ucapnya sayu.

”Bila seseorang memberi kasih sayang, ia akan di beri kasih sayang pula oleh Allah dan orang-orang lain,” kata paman Atib.

Zaid termenung lagi. Walaupun Raban kaya, tetapi ia tidak disayangi orang karena sifatnya yang kejam. Kekayaan Raban tidak ada artinya dibandingkan kekayaan kasih sayang Nabi.

"Paman, kalau kasih sayang Nabi seluas alam ini, berarti Nabi juga menyayangi anak-anak ?” tanya Zaid penuh harap.

Paman Atib meraih Zaid dan mendudukkannya di pangkuan. ” Bila Rasulullah bertemu anak-anak, Beliau selalu menyapa mereka dan mengajaknya tertawa,” kata Paman Atib. ”Beliau sering mengajak mereka berlomba lari dan memarahi orang dewasa yang berlaku jahat kepada anak-anak.”

Tanpa terasa air mata Zaid mula berlinang. ”Benarkah didunia ini ada orang sebaik itu ?” pikirnya dalam hati. Perlahan timbul rasa rindu di hati Zaid. Lalu Paman Atib berkata lagi, ”Tetapi yang lebih besar dari semua itu adalah pengorbanan Beliau di jalan Allah. Tahukah engkau Zaid, ketika Rasulullah berdakwah seorang diri ke kota Thaif, Beliau malah dilempari batu oleh orang-orang bodoh itu sambil bersorak ?”

Zaid melompat dari pangkuan Atib dan bertanya dengan wajah tegang. "Dilempari batu ? lalu apa yang terjadi wahai Paman ? Apa yang terjadi ?”

Tubuh dan kaki beliau terluka, sehingga sepanjang jalan kota Thaif berciciran dan bercak-bercak darah suci yang mengalir dari luka itu....” jawab Paman Atib dengan murung. Tubuh Zaid terasa lemas, kepalanya tertunduk seraya jatuh berlutut. ”Subhanallah...Subhanallah....” bisiknya tersendat. Mendadak ia mengenggam tangan Paman Atib erat-erat. Kemudian dia mendongakkan kepala dan memandang wajah Paman Atib lekat-lekat. Matanya berkaca-kaca, namun sorot matanya penuh dengan kemarahan.

Berlanjut...



SEBELUM PINDAH LEMBAR ALANGKAH BAIKNYA DI VOTE TERLEBIH DAHULU.
Supaya penulis semangat untuk menulis kisah Rosul selanjutnya, kalian boleh request apapun di kolom komentar...
Jazakumullah khoyr

RASULULLAH Sholallahu'alaihi Wa Sallam💘Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang