Anak kecil Merindukan Nabi Muhammad S.A.W (3)

396 37 0
                                    

"Paman...” ujarnya tersendat-sendat. "Bersumpahlah dengan nama Allah yang Maha Perkasa, bahawa Paman akan menghunus pedang dan saya akan menyiapkan persiapannya. Lalu kita hancurkan kota orang-orang kafir itu sampai Allah memberi kemenangan, atau kita mati syahid.”

Paman Atib membalas tatapan Zaid, sementara kedua tangannya memegang bahu Zaid erat-erat. Paman Atib menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. ”Zaidku...” katanya dengan penuh rasa kasih sayang. ”Rasulullah adalah Suri Tauladan dan ikutan setiap Muslim, bukankah begitu?” Zaid mengangguk perlahan, sementara air matanya makin menggenang sehingga wajah Paman Atib pun terlihat suram olehnya.

"Tahukah engkau wahai Zaidku, apa yang dilakukan Rasulullah setelah menerima perlakuan demikian kejam ? tahukah engkau ?” tanya Paman Atib lagi. Zaid menggeleng disertai air matanya yang mulai mencair dan meleleh dipipinya.

"Apakah Rasulullah akan memohon agar Allah menghukum orang-orang itu? Padahal setiap do’a Beliau akan dikabulkan Allah. Apakah Rasulullah akan memohon agar kota Thaif dihancurkan?” tanya Paman Atib bersungguh-sungguh.

"Malaikat Jibril datang pada Baginda dan memohon izin untuk diangkat gunung di sebalik kota thaif itu untuk dihempaskan ke kota itu. Tetapi dihalang baginda. Baginda tidak sampai hati melihatnya. Lalu disapu darah yang mengalir di kakinya tadi.”

"Ternyata tidak wahai Zaid, tidak. Rasulullah malah memohon agar Allah memaafkan mereka semua." Zaid semakin tersedu-sedu karena terharu. Tak pernah didengarnya ada manusia sebaik dan seagung itu.

Paman Atib memeluk Zaid kecil didekapnya ke dadanya. Ia mengelus punggung Zaid sambil berbisik, "Dan setelah bertahun-tahun berlalu, akhirnya orang-orang Thaif memeluk Islam. Orang yang dulu melempari Nabi dengan batu, kini telah menjadi saudara kita. Saudara dalam Iman dan cinta. Semua itu berkat cinta dan kesabaran Nabi terhadap sesamanya. Dan kita harus meneladani Beliau. Kamu paham kan Zaidku ?”

Zaid mengangguk dalam tangisnya. Hatinya semakin terjerat rindu dengan manusia seagung itu. "Paman...” katanya dengan suara serak. "Ajaklah aku bersamamu. Aku ingin menjaga Rasulullah agar tak ada orang yang dapat mencelakainya lagi.”

Zaid,” kata Paman Atib lagi. ”Kamu masih kecil dan perjalanan ke Madinah sangat jauh. Lagipula yang harus kau jaga disini adalah ibumu, ingatlah itu.”

Zaid menggeleng-gelengkan kepala. ”Kak Ubaid dapat menjaga ibu disini. Lagipula aku tidak takut perjalanan jauh, wahai Paman. Biar kecil begini tubuhku tetapi aku masih kuat asalkan dapat berjumpa Rasulullah...” Tak ada yang bisa memujuk Zaid untuk tetap tinggal.

Kerinduannya untuk bertemu Rasulullah sudah sedemikian besarnya sehingga menyesakkan dada. Ibu Zaid yang bijaksana itupun rela melepaskan kepergian Zaid. Ia melihat sorot mata Zaid begitu kuat untuk bertemu dan menjaga Rasulullah. Karena sang Ibu sedar, meskipun Zaid masih kecil, gunung sekalipun tak akan mampu menghalangi semangatnya.

Akhirnya berangkatlah Zaid bersama Paman Atib ke Madinah. Selama perjalanan Zaid tidak pernah bermalas-malasan. Ia membantu mencari kayu bakar dan membuat makanan. Ia juga membantu memasang tali kekang  unta dan menurunkan barang-barangnya. Pokoknya ia senang sekali. Siapa yang rajin, ia akan bahagia, begitu selalu dikatakan ayahnya sebelum meninggal.

Tak terasa setelah berhari-hari mereka melakukan perjalan berat, sampailah mereka dipinggir kota Madinah. Hati Zaid begitu berbunga-bunga.

"Besok aku akan bertemu Rasulullah,” pikirnya dengan hati berdebar-debar karena senang. Malam itu Zaid tidak bisa tidur. Ia ingin matahari segera terbit. Tetapi semua ia rasakan berputar terlalu lama.

Keesokan harinya mereka memasuki Madinah. Namun suasana Madinah diliputi awan mendung. Dimana-mana terlihat kesedihan. Kaum wanita maupun laki-laki terlihat terisak-isak, dan wajah mereka menampakkan kesedihan yang menggambarkan seakan-akan ada sesuatu kejadian yang sulit dipercaya.

Bertanyalah Paman Atib kepada mereka ”Wahai saudaraku ada apa gerangan, kenapa seisi Madinah terlihat berduka ?”

”Nabi telah wafat ...”
”Innalillahi wainnailaihi roji’un...”

Dada Zaid tiba-tiba terasa sesak. Seorang Nabi sekaligus ayah mereka, seorang pemimpin sekaligus sahabat mereka telah tiada. Siapa tak kan sedih. Bahkan pelepah-pelepah kurmapun merunduk sementara angin pun tidak bertiup. Seluruh alam benar-benar berduka.

Zaid tak dapat menahan rindu, berita tersebut seakan langsung membuatnya lemas. Tiba-tiba semua perjalanan jauh yang tak terasa itu datang kembali. Tiba-tiba semua penyakit yang diderita dulu kini mencengkeram kembali.

Malam itu Zaid jatuh sakit. Tubuhnya menggigil kedinginan. Paman Atib berjaga semalaman. Akan tetapi menjelang subuh panas badan Zaid turun. Zaid meminta Pamannya membawanya keluar halaman.

"Aku ingin melihat bintang,” katanya lirih. Didokongnya tubuh Zaid yang terbungkus selimut keluar jendela. Dibawanya Zaid hingga ke sebuah bukit, supaya Zaid dapat memandang bintang sepuasnya.

"Paman,” ucap Zaid sayu.

"Setelah ayah meninggal, seorang Tabib yang baik hati pernah memeriksa tubuhku yang sakit-sakitan ini. Kata tabib hidupku hanya tinggal beberapa bulan lagi. Yang tahu hal ini hanya Kak Ubaid. Ibu tidak kami beritahu karena takut Beliau sedih...” ia menghela nafasnya dalam-dalam.

"Selama perjalanan aku berusaha menahan semua sakit agar bisa bertemu Rasulullah, tetapi Allah berkehendak agar kami bertemu ditempat yang lebih indah dari dunia ini. Be... betul kan, Paman ?” Paman Atib mengangguk perlahan sambil mendekap tubuh Zaid.

Sayup-sayup terdengar suara syair musafir,.

Tiada lagi indah bintang-bintang di langit...
Kerana bintang yang terindah telah tiada....
Tiada lagi sejuk cahaya bulan...
Karena cahaya tersejuk telah tiada...

Yaa... Muhammad...
Penuh rindu kudatangi kota ini...
Namun Kau biarkan aku sendiri....
Menunggu didunia fana ini...

Yaa... Muhammad...
Kalaupun tak kujumpai Engkau disini
Janganlah Kau palingkan wajah dariku...
Bila kita bertemu suatu saat...

Di akhirat nanti....

Zaid tersenyum. Sorot matanya perlahan-lahan terkatup, dan tertutup selamnya. Ia telah kembali kepangkuan Allah SWT, sang Maha Pencipta. ”Innalillahi wainnailahi roji’un, selamat jalan Zaidku. Sampaikan salam Paman buat Rasulullah...” bisik Paman Atib penuh kehibaan

Angin malam berhembus perlahan seolah-olah berkata, "Alangkah berbaghagianya orang-orang beriman. Mereka bersaudara didunia dan bersaudara di akhirat...”

Wallahu'alamu bisshowaab🌷



SEBELUM PINDAH LEMBAR ALANGKAH BAIKNYA DI VOTE TERLEBIH DAHULU.
Supaya penulis semangat untuk menulis kisah Rosul selanjutnya, kalian boleh request apapun di kolom komentar...
Jazakumullah khoyr

RASULULLAH Sholallahu'alaihi Wa Sallam💘Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang