Damn You

6.7K 693 94
                                    

Nyatanya,
Aku satu-satunya orang bodoh
Yang masih merasa terluka
Pada dia yang bukan siapa-siapa.

oOo

Mata Singto mengerjap, kepalanya masih terasa pusing. Sejenak, ia pijit pelan pelipisnya untuk sekadar menenangkan.

Sedetik kemudian, Singto tersentak mendapati Pie yang tidur di sebelahnya tanpa menggunakan busana.

“Hey, apa yang sudah kamu lakukan!” seru Singto membuat Pie bangun.

Wanita itu hanya tersenyum, lalu memeluk pinggang Singto dan rebahan di sana. “Kau tak ingat?” bukannya menjawab, Pie malah balik bertanya dengan nada suara yang ia buat sangat manja.

“Jangan bohong kamu. Jelaskan semuanya,” dengkus Singto mendorong tubuh Pie hingga pelukannya terlepas.

Wanita itu tersentak, matanya berkaca-kaca mendapati perlakuan seperti ini dari pria yang ia bangga-banggakan. “Sebenarnya ada apa denganmu, hah? Kau sendiri yang membawaku ke sini, memaksaku tidur denganmu lalu sekarang ....” Pie menggantung ucapannya sembari menggigit bibir bawahnya. “Kau mencampakanku,” desisnya.

Singto bergeming, sorot matanya tajam menusuk tatapan sendu yang dilayangkan Pie. “Karena aku tahu ini tidak sederhana itu,” ucap Singto penuh penekanan.

Pie berdecih. Dengan mata berkaca-kaca ia turun dan meraih bajunya, dikenakan dengan cepat lalu beranjak dari sana. Singto harus tahu kalau dia sedang terluka.

Singto mengerang kuat, meremas tempurung kepalanya gemas tentang semua yang terjadi.

Runtukannya terhenti ketika ponselnya di atas meja berdering kuat. Tubuhnya lelah, kepalanya pusing sambil malas-malasan ia berjalan meraih benda pipih itu.

Keningnya menyerit, mendapati sederet nomor tak dikenal tertera di layarnya yang berkedip.

“Halo.”

“Ini singto, kan?” pria di ujung telepon memastikan.

“Ya.”

“Kalau kau masih perduli dengan Krist. Datanglah ke rumah sakit, tadi malam ia di serang habis-habisan di apartemen,” terangnya.

Seketika mata Singto langsung membelalak terkejut mendengarkan penuturan itu. Kakinya terasa lemas hingga ambruk di lantai.

“Kirimkan alamatnya, aku akan segera ke sana,” ucapnya dengan suara gemetar. Jantungnya bergemuruh seakan terlepas dari tempatnya.

Jiwanya melayang masih belum percaya dengan apa yang didengarnya. Namun demikian, Singto buru-buru mengenakan pakaian lalu beranjak.

Untuk kesekian kalinya ia berdecak pagi ini. Sudah tiga taksi yang ia lambai tak mau berhenti ditambah lagi ponselnya terus berdering membuat perasaannya semakin gusar.

“Singto ...! Apa yang mama dengar ini!” pekik Peng nyaris membuat telinga pria itu berdengung.

“Bagaimana bisa Krist dikeroyok seperti itu? Kamu ke mana aja, hah? Ini pasti karena ulah berandalmu, kan? Sudah mama bilang jangan buat masalah pada siapapun. Lihat, sekarang orang lain yang menanggung akibatmu,” cerca Peng dengan sekali tarikan napas.

“Ma—”

“Sekarang kamu datangi rumah sakitnya dan pastikan dia selamat. Mama tidak mau tahu,” potong Peng secepat kereta api. “Mama tak bisa datang. Sekarang sedang bersama papamu di Amerika. Jadi mama mohon kedewasaanmu kali ini. Satu lagi, jaga adikmu juga.”

Tanpa memberi celah Singto membela diri Peng sudah memutuskan panggilan sepihak.

***

MANTAN [Singto x Krist] (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang