Can I Fell Happy?

7.3K 681 104
                                    

Jangan tanya di mana lukaku.
Meski tak terlihat mata, percayalah,
Sakitnya tak terkira.

oOo


Kelas hari ini berakhir. Pen dan Krist memutuskan bersantai sejenak di bawah pohon dekat pagar kampus seperti biasa. Sesekali Krist terlihat menghela napas berat sembari mengaduk milk ice pink kesukaannya.

Diam-diam, Pen memperhatikan teman seperjuangannya yang terlihat muram. Gurat wajahnya terlihat lelah bahkan kantung matanya menghitam.

“Krist, apa kau bergadang semalaman?” tanya Pen dengan mulut tersumpal potato chips.

Kening Krist berkerut seakan tidak mengerti dengan pertanyaan Pen barusan. Nyatanya, ia memang bergadang hampir semalaman, matanya baru bisa terpejam saat jam menunjukan pukul setengah empat pagi.

Pikirannya tidak tenang. Kalut. Perdebatannya dengan Singto terus berlalu lalang tak kenal waktu.

Singto bilang dia menyukainya tapi dia bilang lagi dia bukan gay. Krist heran sendiri kenapa pria itu begitu mudah mengeluarkan kata-kata yang bahkan dia sendiri tidak mengerti.

Untuk kesekian kali, embusan napas gusar meluncur bebas dari hidungnya.

“Hey, kenapa kau malah bengong?”

Lamunan Krist buyar ketika tangan Pen dikibas-kibaskan depan wajahnya, jiwanya yang sempat melayang ke antah berantah tadi dipaksa kembali tiba-tiba.

“Eh, apa?” tanya Krist dengan ekspresi cengo.

Kali ini Pen yang menghela napas mendapati ekpresi pria di hadapannya seperti barusaja kena hipnotis pinggir jalan.

“Aku bertanya, apa tadi malam kau bergadang? Lihatlah kantung matamu itu,” ulang Pen dengan nada yang sengaja ditekankan.

Hooh, semalaman aku tidak bisa tidur,” jujur Krist sambil bertopang dagu.

“Kamu ada masalah? Tidak biasanya kau seperti ini,” celetuk Pen menggeser bungkus potato chips-nya yang sudah habis lalu mengambil snack rumput laut dari kantung di sebelahnya.

Krist menghisap dalam-dalam oksigen di sekitar untuk mengembangkan paru-parunya yang terasa menciut. Sebelum suaranya terlontar, tangan Pen lebih dulu menahan penjelasan Krist.

Pria itu merogoh saku celananya mengeluarkan ponsel yang meraung sejak beberapa detik yang lalu.

“Mama telepon,” beritahu Pen sembari mengangkat rendah ponselnya.

Panggilan tak berlangsung lama. Pen menjawabnya dengan kata-kata pendek seperti biasa.

“Aku disuruh pulang awal. Hari ini pasar sangat ramai dia memintaku untuk membantu,” jelas Pen.

“Aku ikut. Lagipula sudah lama aku tidak bertemu dengan ibumu.”

“Tidak!” tegas Pen. “Kurasa kau tahu alasannya. Aku tidak mau terlihat seperti anak malang yang memperhatikan ibuku lebih mesra denganmu.”

Krist terkekeh. Pen selalu saja mengungkitnya.

“Sebagai gantinya, aku akan datang ke apartemen Singto nanti malam. Kau berhutang penjelasan padaku, bung,” celetuk Pen bersemangat.

“Oke. Aku tunggu,” desis Krist.

“Sampai nanti,” ucap Pen sambil melambaikan tangannya dan dibalas Krist melambaikan tangan juga.

Lengang, hanya semilir angin sore yang berlalu lalang seakan berusaha menyejukan hatinya. Sambil mengaduk milk ice pink-nya yang tinggal setengah. Lagi-lagi hanya bayang-bayang Singto yang memenuhi setiap inci kepalanya.

MANTAN [Singto x Krist] (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang