Bukan Aku - Kesatu

138 0 0
                                    

Aku Tidak Pantas Untuknya (?)

Cerita ini diangkat dari kisah nyata penulisnya. Sebut saja Aku.

2015, saat itu usiaku 22 Tahun. Mahasiswa semester 7 yang menghabiskan sisa-sisa catatan kuliahnya di sebuah kampus yang bernama kampus kerakyatan. Tidak ada track record yang membanggakan dari diriku hanya rakyat jelata yang duduk dibangku perkuliahan dan menjalani rutinitas yang membosankan. Tugas, laporan praktikum, nongkrong, nonton anime, mentok-mentok berdemo ria. Bisa dibayangkan siklus hidup yang kalau Malaikat Maut khilaf, aku dicabutnya karena dianggap ga ada manfaatnya dan menuhin Planet Bumi.

Umumnya manusia normal, aku akhirnya memiliki ketertarikan pada lawan jenis. Sempat khawatir memang kalau kalau aku belok, tapi syukurlah tidak ternyata. Ya dia perempuan karena aku laki-laki. Terus? Haha oke berikut aku kuliti siapa dia.

Kamu yang IPK kamu Paduka (Pasukan Dua Koma) berjuang mati-matian mengulangi nilai C dan D kadang juga E dan K, tetiba melihat ada manusia yang dengan selonya terisak saat mendapat nilai B sebab IPK nya tidak jadi 4.00 lantas kamu sebut apa dirimu? Syukur Malaikat Maut masih Fokus.
Ya, dia adalah Perempuan dengan segudang prestasi. Cantik rupawan. Baik hatinya. Asisten dosen S1 dan S2. Sudah biasa buat materi kuliah untuk S2 sedang aku buat PPT saja saat itu sulitnya luarbiasa. Penerima beasiswa. Exchange setahun di Amerika. Bekerja part time menjadi Barista. Sampai-sampai aku mengira ini anak pasti orang susah makanya sangat bersungguh-sungguh dan menghabiskan waktu untuk belajar dan bekerja. Ternyata bukan, aku salah. Anak bangsawan rupanya.

Oke aku menyimpulkan bahwa Malaikat Maut sengaja beri aku kesempatan mengenal dia agar aku dapat mengambil hikmahnya, aku bertemu dengannya pada sebuah kegiatan pengabdian sosial. Jangan tanyakan kenapa aku ada disana, ini sebagai syarat lulus kuliah. Sebulan lebih aku bersamanya dalam kegiatan tersebut. Mulai dari tidak peduli, sering ribut karena sama-sama tidak mudah menerima pendapat orang lain ya walau alasan dia logis sementara aku hanya mempertahankan gengsi. Saling kritik sampe kritis hingga mendebatkan sesuatu yang bukan domainnya. Seperti soal fashion maupun passion. Intinya kami sengaja di desain untuk saling berlawanan.

Satu kelompok hanya ada 5 manusia dengan komposisi 3 Perempuan 2 menuju pria. Namun dari 2 laki yang ada sayangnya berbeda keyakinan, temanku Hindu aku Islam. Bisa disebut bahwa inilah momen dimana aku dengannya (si perfekzionis) itu bisa nyambung. Berawal saat ramadhan kami mengalami perbedaan yang sangat kontras dengan tradisi masyarakat lokal, akhirnya memutuskan menjalankan ibadah di penginapan. Pastilah aku yang jadi imamnya. _____

Sedikit perubahan perbedaan apa yang biasa kami ributkan seolah berkurang. Hingga akhirnya aku menyadari hampir selalu ada dia selepas mengucap salam, pun dia menirukan gerakan yang sama.

Suatu hari dia bertanya serius tentang apa yang selama ini mengganggu pikirannya, yaitu tentang bagaimana seharusnya manusia (perempuan) bertanggungjawab kepada Tuhan, tentang Hijab. Tentang batasan-batasan pergaulan. Hingga akhirnya dia bertanya siapa aku? Menurut dia aku memiliki sesuatu yang baik hanya saja aku tidak menyukai hal itu.

Kesalahan terbesarnya adalah: rasa ingin tahunya tentang siapa aku. "Rakyat jelata yang sedang kuliah" jawabku. Tetap dia mencoba lebih dalam. Lebih jauh. Entah mengapa saat itu pagi-pagi di jalur lahar dingin Gunung Merapi kami berbicara kali pertama tanpa perdebatan. Tentang masalalu aku dan masalalu dia.
___Awal kedekatan terjadi.

Seperti kisah pada umumnya, kami pun mulai saling menurunkan ego, saling bertanya ramah, hingga akhirnya merasa saling nyaman. Aku belajar mengenal perempuan darinya. Banyak hal yang belum pernah ku temui sebelumnya. Bahkan cara dia melihat masa depan sangat unik bila dibanding perempuan lainnya seusianya. Hal sederhana namun membuatku terkesan sangat dalam yakni saat dia menyebut nama panggilanku dengan Utuh. Dia ingin tahu rencanaku lima tahun kedepan seperti apa, aku jawab dengan menggelengkan kepala. Dia ulangi kembali dengan durasi lebih pendek, dua tahun dari hari ini kamu bagaimana? Jawabku sama, menggelengkan kepala. Pertanda bahwa aku tidak tahu akan hari esok.

Sejak saat itu, aku menyukainya. Doaku terkabul, aku bisa menyukai perempuan tidak sebatas fisiknya. Namun lebih jauh dari itu.

Hampir 2 bulan bersama. Banyak sudah yang dilewati dialami dan dikenang. Ia harus melanjutkan jalannya kembali, menuju Negeri Tirai Bambu. Perpisahan itu sederhana, makan bersama lalu ia dijemput keluarganya dari sebuah desa kecil di kaki gunung bernama Desa Ngargosoka. Hari-hari bersama telah berlalu, aku menjalani dua rasa disaat bersamaan. Pahitnya perpisahan dan manisnya janji kebersamaan.

Ternyata itu adalah pertemuan terakhir, meski terucap komitmen menikah saat usiaku 25 th. Hari ini ia sedang menikmati kehidupannya di Ibu Kota Republik Indonesia.

Di penghujung tahun yang sama 2015, musim semi berganti dingin. Pertarungan tak terelakkan, waktu itu Malaikat Maut masih memberikanku kesempatan untuk memperbaiki hidup dan komitmen padanya. Sebab bagiku cinta itu adalah keikhlasan yang sadar.

Ku katakan padanya, lupakan soal komitmen. Kita serahkan semua pada-Nya. Jika kamu baik buatku, kita akan dipertemukan. Jika aku baik buatmu kita akan dipersatukan. Tapi jika bukan aku atau kamu, mungkin itulah saatnya kita mengharapkan seutuhnya kepada Tuhan agar apa yang ada hari ini adalah yang terbaik dari-Nya. Mari kita lanjutkan perjalanan sembari menunggu usiaku 25 th sesuai yang diminta orangtuamu.

Kembali ke kampus kerakyatan. Menjalani hari yang sedikit berbeda dari biasanya. Ada semangat. Ada tekad. Demi akad dengannya. Sementara dia bekerja di konsultan Inggris di Jakarta. Akhirnya tercetus olehku: "ku sampaikan padanya, kelak jika ada yang datang kepadamu dan telah mempersiapkan segalanya juga bahkan jika kamu tertarik padanya, aku ikhlas. Kamu silahkan dengannya, pun ke aku demikian". Sebab aku diajarkan untuk berserah diri pada Allah.

2017 jika bukan karena tafahum, aku sudah menghasilkan banyak puisi derita sengsara dan patah. Ia mengirimiku undangan pernikahannya. Saat itu usiaku 24 th. Tak sedikitpun aku singgung mengenai dulu yg pernah dibahas karena aku sudah mengikhlaskan secara sadar saat sekembalinya ke kampus.

Kini ia adalah seorang ibu bagi anak perempuannya dan seorang istri bagi seorang laki-laki yang lebih siap dariku yang kemudian menjadi suaminya. Tepatnya memang jodohnya bukan aku. Hahaha Ampun Malaikat Maut tidak pernah bermaksud menyalahkan takdir.
___

Kami masih berteman meski hanya lewat media sosial. Disana aku sadar, aku tidak akan sanggup menjadi suaminya. Punya pendapatan jelas, punya dua kulkas, punya mobil, rumah bertingkat, stroller baby yang bagus, dan kolam renang kecil buat baby. Kebayang jika itu aku; tinggal di kos-kosan pasutri, tidak ada tempat khusus buat bayi, ruangan yang menyatu dengan dapur dan kamar tidur, ember mandi buat anak latihan renang, dan kain panjang buat gendong kalau pergi ke mall, motor butut yang di engkol kalau klakson tidak bunyi, pendapatan yang surut ga pernah pasang, bahkan kulkas yang mungkin numpang di kulkas bersama penghuni kos lainnya untuk menaruh ASIP ibunya. Hahaha disini aku sedih. Menikah itu bukan hanya perkara cinta-cintaan semata.

Allah tahu dan Allah Maha Mengetahui.
Bukan aku yang pantas menjadi suaminya atau Ayah bagi anaknya.

Alhamdulillah Malaikat Maut masih memberi kesempatan aku memperbaiki diri.

Terimakasih sudah membaca.
Aku dan Ekonomi

#patahhati
#tidakjodoh
#ikhlas

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang