Akhirnya setelah sekian kali harus menepis suka meminggirkan rasa menghilangkan ketertarikan menutup cerita bahkan meniadakan perbincangan yang melibatkan dia yang sering kali berganti di setiap kesempatan dan waktu yang berbeda, aku memilih pada kata baik. Baiklah aku akan mencobanya kali ini.
Bukan karena usia yang menjadi alasanku untuk memilih pada kata baik, melainkan ada semacam hal yang memang membuatku ingin mengenal dia yang kali ini aku merasa berbeda, intuisi kata kebanyakan orang menyebutnya. Entahlah, aku hanya mencobanya dengan niat sedikit berbeda dari biasanya. Ada kata mungkin yang diam-diam aku panjatkan.
Jodohku?
Ada tanda tanya dengan dua pilihan: membiarkan atau menghapusnya. Inginnya demikian. Kenyataannya itu bukanlah pilihan melainkan takdir atas ketentuan dan ketetapan yang telah Tuhan gariskan.
Waktu itu, aku akan ceritakan tentang seseorang yang entah bagaimana membuat dirinya menjadi sebuah kemungkinan yang harus aku miliki. Dia yang luarbiasa berbeda dari yang pernah aku temui. Pertemuan itu hanya sekali, musabab jarak dan menjaga niat. Paling hanya menunggu update-an instagramnya yang itupun jarang sekali, bahkan bukan fotonya hanya potongan ceramah-ceramah singkat atau poster-poster kajian. Tapi demikian hubungan ini berlangsung tanpa sedikitpun keraguan akan pertemuan fisikal sebab emosional telah terlebih dahulu membenarkan bahwa dia adalah kemungkinan itu. (mungkin lo ya).
Keraguan akan kemampuan dirinya membersamaiku sama sekali tidak ada, satu-dua-serta banyak hal yang mengagumkan darinya tentang bagaimana gelengan kepala dan anggukan kepala kerap kali terjadi sependapat sama denganku. Kecocokan yang selama ini sulit sepertinya terpenuhi melihat dia yang silih datang berganti seperti keluaran pabrikan dengan produksi masal, mudah dijumpai. Namun dia unik, dia berbeda. Setidaknya begitulah cara kerjanya hati membenarkan perasaan. Justru pada bagian ini aku meragukan diriku sendiri. Mampukah membersamainya?
Bermula dari bertanya kabar, bertukar cerita, yang sesekali dilakukan hingga tanpa disadari kegiatan ini menjadi semacam tradisi atau ritual wajib yang harus dilakukan sebelum menutup hari mengganti dengan matahari baru keesokannya. Berulang, terus hingga berganti bulan dan menggenap pada bilangan tahun. Kami masih antusias bertukar cerita hingga pemikiran tentang sebuah hal, dua buah hal, beberapa buah hal, hingga banyak buah hal. (kenapa harus buah sih? Kok engga ekor aja) satu ekor hal gitu.
Profesorku di kampus pernah menjelaskan tentang Teori Kebenaran, dikatakan benar apabila:
1. Korespodensi: cocok dengan kebenaran yang ada. Kami cocok dengan kebenaran yang kami terjemahkan sebagai keterbukaan. Tidak ada sesuatu yang bersifat hoax apalagi mitos dalam pelaksanaan hubungan kami.
2. Koherensi: ada korelasi dari masa dahulu terhadap apa yang hari ini kami jalani, bahwa benar adanya kalau kami se iya se kata dalam perbaikan dan kebaikan.
3. Pragmatik: tentang bagaimana hubungan yang kami jalani harus mendatangkan manfaat atau berdaya guna, sehingga kami diketahui dan diakui keberadaannya. Membekas dan meninggalkan bekas. Ini telah kami mulai dengan menulis dan hal kecil yang diyakini baik.
4. Semantik: harus mampu menunjukkan makna sesungguhnya atas apa yang dimaksud dengan perjumpaan, perkenalan, pertemanan, juga mungkin perpisahan.
5. Konsensus: disepakati secara musyawarah, pada akhirnya inilah yang banyak kami jadikan acuan dalam menjalani hubungan.
Benar adanya. Hubungan ini mulai memberat, penuh pertimbangan, sarat akan kecemasan kekhawatiran. Salah sedikit fatal yang kemungkinan akan terjadi.
Di mulailah obrolan perbincangan dengan arah dan tema yang lebih spesifik. Menentukan batasan hubungan, unit analisis perbincangan, metode penyelesaian dan pencapaian tujuan, hingga menjurus pada tinjauan-tinjauan umum hubungan orang yang kemudian dijadikan referensi dalam penyepakatan kerangka pemikiran. Hubungan mulai mengarah pada pembuktian-pembuktian hipotesis yang kemudian dijadikan pembahasan. Bagaimana kelanjutannya, dimana kitanya, untuk apa semua ininya masih dipertahankan dilanjutkan, serta mengapa kita masih dalam kondisi belum sepenuhnya percaya bahwa kemungkinan itu dapat terjadi. Hingga tiba pada kesimpulan: hubungan ini dapat diteruskan atau dicukupkan? Kami menggunakan metode "Konsensus".
Pagi itu, saat aku baru sampai di kotamu setelah menembus kabut dingin di Gunung Merapi subuh hari, berderu gemuruh haru membiru menyaksikan perjumpaan kita yang kedua tepat di halaman depan rumahmu lengkap dengan kehadiran orangtuamu ayah ibu dan adik-adikmu serta tetanggamu, aku memberikan senyuman sebagai ucapan salam perjumpaan sekaligus perpisahan kepadamu. Ku aminkan sebenar-benarnya aamiin pada doa yang dipanjatkan di pernikahanmu dan lelaki yang saat itu telah mengambil tanggungjawab atas dirimu dari orangtuamu. Selamat, ucapku pada diriku yang bahagia melihatmu sekaligus tertahan untuk menyapamu dan keluargamu.
Dengan ini berakhir sudah akad nikah saudara ... dan saudari ...
keluarga dan tamu undangan dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang telah disediakan tuan rumah. Demikian pembawa acara menutup momen bahagia pagi itu.
Ku geser kursi plastik biru itu dari grumunan bapak-bapak yang saling berbincang dengan kekhasan budaya suku dan bahasanya yang aku asing disitu. Aku nikmati teh hangat jamuan acara akad pernikahanmu dengan seksama dan dalam tempo se sendu-sendunya. Mungkin ini namanya sepi di keramaian. Gelas masih dimulut ku lihat perempuan berkebaya yang tadi ada di pelaminan menuju ke arahku dengan seorang wanita paruh baya, bergegas aku habiskan minumanku dan mengelap bekas minum di mulutku. Ternyata itu adalah dia dan wanita paruh baya itu adalah ibunya.
"mama ini dia yang selama ini aku ceritakan" tuturmu pada ibumu. Sontak ibumu berkata "Terimakasih nak atas waktunya, perhatiannya, sabarnya dalam berteman dengan putri semata wayang saya. Dia selalu bercerita tentang dirimu dan selama ini ibu ingin sekali berjumpa dan berkenalan denganmu, Nak... ibu doakan dirimu akan mendapatkan perempuan yang terbaik untukmu yang lebih dari putri ibu. Mohon maaf apabila selama ini ada salah dan khilaf dari ibu sekeluarga, terimakasih sudah mau datang dari jauh menghadiri pernikahan ..."
Bergegas aku mengambil aqua gelas lalu berpura-pura meminumnya seakan tertumpah di wajahku, menutup, membiaskan, antara air minum dan air mata. Doa dan ucapan selamat akhirnya langsung aku berikan kepadanya dihadapan ibunya. Purna sudah perasaan ini saat itu. Pamit untuk kembali melanjutkan kehidupan. Ku nyalakan motor yang terparkir di depan tenda pernikahannya, seorang bapak menghampiriku dari kejauhan seakan terburu-buru ingin menyampaikan sesuatu. "Nak terimakasih sudah mau datang, akan sangat senang kami sekeluarga jika anak mau hadir ikut makan siang bersama keluarga kami siang nanti sebagai balasan kebaikan yang sudah dilakukan kepada putri saya selama ini" ungkapnya. Ternyata itu adalah Bapaknya. "Terimakasih Pak..."
Aku pulang.
Jodohku? Ternyata bukan. Hahaha 😊
Next. Kita bahas jodoh itu apa bagaimana seperti apa.
Terimakasih sudah membaca.
#jodoh
#tidakberjodoh
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH
Romancekau tahu, kaki dan hati itu berbeda tapi bisa sama. bedanya kaki ada dua. samanya keduanya bisa patah. Patah kaki cacat fisik, patah hati cacat mental jika tidak segera diobati. Patah kaki masih bisa sejalan. Patah hati siapa yang tahu? Untukmu: Di...