Senja yang Tak Disapa

3K 137 21
                                    

Bakal ada beberapa story yang aku unpublish karna kepentingan event.

===

"Terima kasih, bu" Ucapku sebelum berbalik membawa beberapa bungkus cokelat.

Kaki ini berjalan meninggalkan kedai itu lalu menghampiri sosok anak kecil di tepi jalan.

"Ini untuk kamu dan Mona, jangan berebut lagi, ya?" Ujarku lembut

"Huwaah cokelat! Terima kasih kakak cantik!"

Tersenyum kecil bibir ini melihat manik karamelnya yang berbinar setelah menyambar cokelat dariku. Menyaksikan kebahagiaan anak itu, semua beban yang menumpuk di batin rasanya sirna begitu saja.

"Kak Ajeng kan beli tiga. Dua untuk Yoshi dan Mona, lalu satu lagi untuk siapa? Bukankah kakak tidak pernah suka cokelat?"

"Ah, ini bukan untuk kakak, Yosh.."
"Baiklah kakak pergi dulu ya? Jangan pulang ke panti asuhan terlalu malam, nanti Bu Ina panik mencarimu."

Tanpa menjawab suruhanku, Yoshi hanya mengangguk cepat serta tersenyum memamerkan gigi kelincinya.

Aku beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Menyadari senja telah tiba, aku pun mempercepat langkah kaki ini. Kebanyakan orang di luar sana mengagumi senja, tetapi tidak denganku. Aku membenci kemunculan senja.

Senja itu mengundang kelamnya malam,
dimana hanya ada redup serta sunyi.
Dan aku benci akan hal itu.
Berbeda sekali dengan fajar,
Yang mengundang mentari pagi tuk membuat dunia bersinar.

"Selamat ulang tahun, Gilang!" seruku pada pemuda yang saat ini berhadapan denganku.

Ia menerima cokelat matcha favoritnya dan hadiah kecil yang telah kubungkus rapi. Gilang Bryananta namanya. Kini umur pemuda itu telah menginjak tujuh belas tahun.

"Iya, makasih. Apa ada hal lain lagi? Teman-teman telah menungguku di kafe." Ujarnya terburu-buru dengan raut wajah yang datar.

"Ah- ya itu saja, maaf aku hanya bisa memberimu ini."

Tanpa merespons ucapan kekasihnya ini, ia pergi dengan motor dan meninggalkanku sendiri. Sudah biasa aku menghadapi sifat dingin pemuda itu. Namun bodohnya, aku masih saja memilih untuk bertahan.

Aku membenci senja.
Karena Ia mengisyaratkan bermulanya sebuah cerita indah,
Dan berakhir dengan menyisakan kelam.
Sama seperti dirinya.
Yang datang membawa kabar gembira, dan pergi meninggalkan luka.

"Sudah ku bilang, Jeng. Dia bukan lelaki yang baik untukmu." Sahut sesosok remaja yang tiba-tiba muncul dari belakang.

Aku hanya mengacuhkannya dan pergi dari tempat itu.

"Dia tidak mencintaimu, Jeng, mau sampai kapan kau bertahan seperti ini?"

"Bisakah kau diam dan pedulikan urusanmu sendiri, Ham?!" Teriakanku berhasil membungkamnya.

Dia Ilham Alvarezi, sosok pria tampan dengan hidung mancungnya yang khas. Ya, kuakui ia tampan. Pria remaja satu ini, tak bosan-bosannya menantiku saat kemunculan senja.

Namun aku membencinya, menatap wajahnya pun aku enggan.

"Ilham.. tolong jangan pernah temui aku lagi. Sudah berulang kali ku katakan, aku membencimu!"

Aku masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Ilham masih diam terpaku di luar. Pasti pemuda itu sedang menanti senja hilang dari langit, baru setelahnya akan pergi dari sini. Aku sangat hafal akan hal itu.

"Ajeng, tak apa. Jika kau sudah menemukan bahagiamu dan tak ingin berlari lagi, aku selalu ada untukmu. Sama seperti senja, ia datang tanpa meminta siapa pun menunggu."

Aku hanya diam mendengarkan gerutuannya dari balik pintu.

Kau bukanlah senja.
Semburat sinarmu tak hangat dan pulihkan luka.
Tapi kau bagaikan angin,
Yang singgah sejenak lalu pergi.

Berjam-jam.. bahkan berhari-hari lebih sudah, aku menangisi seseorang. Siapa lagi kalau bukan Gilang?

Sehari setelah ulang tahunnya, Ia tertangkap basah sedang bermesraan dengan selingkuhannya di bangku taman. Sebenarnya aku telah tahu jika ia memiliki hubungan dengan perempuan lain jauh sebelum hari itu.

Betapa bodohnya diri ini. Memperjuangkan seseorang yang sama sekali tak menghargai pengorbananku.

"Hai, Jeng!"

Ah, dia lagi. Aku baru tersadar kalau saat ini senja sudah tiba. Langit jingga itu muncul bersamaan dengan hadirnya.

Melihat Ilham yang hendak duduk di sampinhku, reflek kugeser tubuh ini agak menjauh darinya. Kupunggungi dirinya dan kudongakkan kepalaku memandangi langit.

"Hapus air matamu.. Tiap tetesannya berharga. Jangan terus tangisi dia, itu sama sekali tak ada keuntungannya bagimu."

"Maumu apa sih, Ham?"

"Apa kau tak iba pada dirimu sendiri? Jangan anggap aku tak tahu soal perceraian orangtuamu, Jeng. Kau telah disakiti oleh orang-orang terdekatmu. Belum cukup kah dirimu terluka karena mengharapkannya?"

"Lantas bagaimana denganmu? Kata-kata yang kau ucapkan barusan berlaku juga pada dirimu, Ham! Kau tahu aku benci padamu, tapi mengapa kau tetap hadir dan meresahkan hidupku?!" Bentakku dengan air mata yang mengucur kian deras.

"Ya, kita berdua memang sama, Jeng!"

Aku berbalik menatap paras tampannya. Tiap luka samar yang tergambar di wajahnya dapat kutangkap dengan jelas. Siapa pun yang melihatnya pasti merasa pedih. Itulah alasanku enggan menatapnya selama ini.

Aku segera bangkit dari bangku taman, lalu pergi meninggalkannya. Kali ini aku tak menoleh kembali tuk menatapnya.

Ya, untuk apa? Untuk apa menatap kembali makhluk yang sudah tak bernyawa?

Sungguh, aku membenci kemunculan senja.
Karena ia telah merenggut seseorang dari hidupku,
Dan membawa pergi kebahagiaanku.

Ilham, cepatlah pergi. Berkali-kali pun kau muncul di taman ini kala senja tiba, kau takkan bisa kembali hidup.

Di ujung taman itu terdapat jurang yang sangat dalam, aku masih mengingatnya dengan jelas. Di sana ada tulang-belulang tubuh manusia yang kini mungkin telah hancur. Saat sukmanya masih menyatu dengan raga, ia menolongku.

Ilham menolongku dari insiden penculikan beberapa tahun silam. Dan kejadian itu terjadi tepat di saat senja muncul.

Dia.. sahabatku yang sudah tiada.

Sampai saat ini aku masih saja membenci senja.
Namun, dari senja aku belajar menghargai sepi.
Tak selamanya aku akan bersama orang yang ku sayang.
Mungkin, Tuhan menganugerahkan kesendirian untukku,
Agar aku memperhatikan diriku sendiri,
Dan tak melulu peduli dengan kehidupan insan yang lain.

"Tidak, Ham. Kita tak sama. Kau dan aku telah dipisahkan pada alam yang berbeda. Sungguh, aku tak sanggup melihatmu lagi. Kuharap kau bisa tenang di atas sana."

Skizofrenia.

Gangguan mental yang menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi, dan kesulitan membedakan kenyataan dengan pikirannya sendiri. Ini sebabnya papa, mama, dan Gilang pergi meninggalkanku.

Aku sadar, Ilham yang selama ini muncul di waktu senja bukanlah hantu, roh, atau pun arwah gentayangan.

...Melainkan wujud halusinasiku sendiri.

"Maafkan aku Ham... yang masih belum bisa mengikhlaskan kepergianmu."


===END===

Life Scenarios [one - shot(s)]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang