Hari ini, adalah hari besar yang akan dikenang seluruh rakyat Padjajaran.
Kian Santang, Walangsungsang, Rara Santang, Senopati, panglima dan beribu-ribu prajurit pilihan diutus oleh Prabu Siliwangi. Mereka akan turun ke medan tempur tuk mempertahankan tanah air dari penjajah. Kian Santang ditunjuk ayahandanya menjadi kepala pimpinan perang.
"Serang..!!"
Dengan suara lantang Kian Santang memberikan aba-aba kepada pasukan. Walangsungsang, Rara Santang bersama yang lainnya pun maju.
"Tziing! Ziing!"
Mereka saling berpencar menghalau musuh dari berbagai titik. Peperangan sengit itu tak bisa dielakkan lagi.
Sembari mengawasi semua rencana yang sudah berjalan rapi, Kian Santang tetap di atas kudanya, menanti akan kedatangan kepala pimpinan lawan.
Selang beberapa waktu, Kian Santang melihat sesosok besar -yang menunggangi kuda lengkap dengan kostum perisai- semakin mendekatinya.
"Kian Santang!!! Menyerah lah! Aku tahu jumlah pasukanmu tak lebih banyak dari pasukanku, jadi mundur lah!" Teriak sosok itu dengan percaya diri.
Kian Santang mengernyitkan dahinya. Dengan tatapan penuh amarah, Ia membalas seruan kepala pimpinan mongol itu.
"Tidak akan!! Ini tanah air kami!!! Yuan-Khan.. menyerah lah! Bawa pasukanmu pulang kembali ke negerimu!"
"Kalahkan aku dulu bocah! Hiyaa!!" Yuan-Khan turun dari kudanya lalu menyerang Kian Santang.
Kian Santang dan Yuan-Khan saling beradu kekuatan. Mereka berada di atas bukit, jauh dari banjir perang prajurit dan panglima lain. Jika dilihat dari tempat itu, pertarungan di bawah tampak seperti kumpulan para semut yang tengah berebut makanan. Tak terhitung jumlahnya.
"Tziing..!"
Yuan-Khan terpental jauh akibat serangan mendadak pedang Dzulfikar milik Kian Santang. Ia mendengus kesal. Yuan-Khan pun memulai rencana licik yang tak Kian Santang ketahui.
"Bwoosh!!!"
Terkejut, Kian Santang segera menghindari serangan bom panah yang berasal dari arah lain. Namun terlambat, ledakan itu berhasil mengenainya dan mengakibatkan dirinya terjatuh dari bukit.
"Bruugh!"
"Argh.." ringisnya menahan sakit. Tak putus asa, Kian Santang memaksakan dirinya untuk bangkit.
Baru saja berhasil berdiri tegak, muncul kembali sosok Yuan-Khan di hadapannya. Dengan seringaian lebar musuhnya itu terus berjalan mendekati Kian Santang.
"Yuan Khan.. k-kau.. Pengecut!!"
"Persetan dengan hal itu! Aku ingin segera mengambil tanah ini dari ayahmu, Kian Santang.. sebaiknya menyerah lah, dan aku akan mengampunimu"
"Aku belum kalah! Hiyaa!"
Kian Santang berlari dengan menghunuskan pedang Dzulfikarnya ke arah depan.
Mereka saling beradu pedang lagi. Kali ini Kian Santang lebih berhati-hati dengan serangan panah bom milik pasukan mongol.
"Hiyaakh!"
"Jleb- crats!"
Sesudahnya, Kian Santang tak merasakan apa-apa lagi. Ia tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia tak tahu apakah pajajaran sudah menang atau sebaliknya.
"Rayi..! Bertahanlah!"
Samar-samar ia menangkap suara Rara Santang dan Walangsungsang, tepat sebelum kegelapan menelan kesadarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life Scenarios [one - shot(s)]
RandomBeberapa penggalan kisah pendek tentang skenario kehidupan. Hampir semua story nya ber-sad ending.