“Akhirnya hari ini tiba... rasanya semalam aku mencoba untuk tidur, tapi kenapa tiba tiba sudah pagi? Ada apa ini?”, gumam ku dalam hati. Ku lihat jam di dinding menunjukan pukul 06:43 pagi. Entah kenapa tiba tiba aku merasa sakit kepala, rasanya ingin sekali tertawa. Ada apa ini? Apa yang terjadi padaku? Hari ini adalah hari audisi, bukan? Lucu, aku merasa sangat bodoh, aku ingin sekali tertawa, ada apa ini?
“Tok.. Tok.. Tok..”, suara pintu kamar ku yang diketuk. “Cho? Lo udah bangun?”, ternyata Om Ben. “Jklek..”, pintu kamar ku terbuka. “Ada apa, Cho? Lo engga denger gua ngetok pintu?”, tanya Om Ben yang melihat ku melamun. “Suara ketukan lu yang buat gua kebangun Om”, ucap ku beralasan. “Kalo gitu cepet siap siap, gua udah buatin sarapan”, ujar Om Ben. Aku bergegas untuk mengiyakan apa yang Om Ben perintahkan.
Selesai mandi aku dan Om Ben sarapan bersama pagi itu. “Om..”, ucap ku membuka percakapan setelah sarapan. “Ada apa?”, saut Om Ben. “Soal audisi ini... Om, gua ngerasa gua engga bisa...”, ujar ku. Om Ben terlihat terkejut dengan pernyataan itu. “Lo emang selalu gampang ditebak.”, saut Om Ben. Seketika suasana seusai sarapan itu menjadi hening karena pernyataan ku.
“Ini terasa aneh buat gua. Entah apa yang udah terjadi semalam, seketika semangat lo hilang begitu aja ketika dengan percaya dirinya lo waktu di depan Novan dan Viona”, ujar Om Ben padaku. Mendengar ucapan Om Ben aku terdiam sambil menundukan kepala ku di hadapannya. “Maafin gua, Om.. gua sendiri gatau kenapa ini terjadi begitu cepat. Dari semalem gua mencoba buat tidur, tapi seakan pagi datang begitu cepat dan sampai sekarang gua engga bisa tidur”, ujar ku menjelaskan yang sebenarnya pada Om Ben.
“Setelah apa yang udah lo lontarkan sama Novan dan Viona, seakan semua itu Cuma omong kosong belaka”, saut Om Ben. Raut wajahnya terlihat kecewa saat ku tatap wajah Om Ben. “Gua engga tau apa yang buat gua jadi begini, Om! Gua ngerasa takut, Om!”, ujar ku sambil menunudukan kepala dihadapannya. Aku benar benar takut, aku merasa sangat ingin tertawa, tapi aku juga merasa sangat ingin menangis.“Sebenernya, ikut atau engga nya lo di audisi itu bukan masalah bagi gua. Cuma sangat disayangkan ketika lo engga bisa jadi apa yang udah lo tentuin. Singkatnya, gua engga bisa terima kalo lo lari dari kenyataan”, ujar Om Ben. “Dari awal harusnya gua engga ambil pilihan ini...”, saut ku dengan rasa penyesalan. “Terlalu cepat buat ambil keputusan. Tindakan lo seolah spontan karena lo tau Viona akan dijodohkan, bukan salah lo juga kalo kita bicara soal itu”, ujar Om Ben. “Tapi, jika lo tau setiap perbuatan ada konsekuensi nya... emang dari awal harusnya lo engga ambil pilihan itu”, lanjut Om Ben. Aku makin tertunduk malu, rasa penyesalan ini membuat ku seperti seorang pecundang. “Konsekuensinya udah jelas jika ini adalah satu satunya cara buat mempertahankan hubungan lo..”, ujar Om Ben.
Terlihat Novan sedang duduk di sofa ruang tamu. “Kamu mau kemana?”, tanya Novan pada Viona saat menuruni anak tangga. “Aku udah cukup umur untuk memilih, Kak! Aku bisa nentuin sendiri pilihan hidup aku!”, jawab Viona. “Tapi disini Kakak bertindak layaknya seorang Kakak untuk Adik nya!”, ujar Novan. “Tapi engga dengan kebebasan dan hak aku untuk memilih dan menentukan pilihan!”, saut Viona.
“Kamu makin dewasa, kata kata kamu menunjukan kalo kamu yakin dengan pilihan kamu sendiri”, ujar Novan. “Tapi biar bagaimana pun, Kakak lebih dulu lahir dan lebih lama hidup daripada kamu. Kakak jauh lebih tau dari kamu soal mana yang baik dan mana yang terbaik!”, lanjut Novan. “Jika yang kita bicarakan ini soal kebahagiaan aku, Kakak engga ada hak untuk itu!”, saut Viona. Perselisihan antara Novan dan Viona membuat hubungan mereka semakin rumit. Keyakinan dan kepercayaan mereka jauh berbeda. “Perjanjian nya udah ditentukan semalam, kan?”, ujar Novan pada Viona. “Jika anak itu gagal dalam audisi, berarti dia kalah”, sambung Novan. “Aku percaya dia!”, saut Viona. “Semoga dia engga mengecewakan kepercayaan kamu itu”, ucap Novan.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUTH : The Last Survive! [ONGOING]
Teen FictionMasa remaja, dimana dunia fana menggoyahkan yang lemah jiwanya