Sang pagi telah datang bersamaan dengan hangatnya sang mentari. Cahaya yang masuk melalui celah ventilasi membuat ku terbangun. Kilauan dari pantulan cahaya itu seolah manyapa ku. Benar, sesuatu yang telah hilang ini selalu terasa setiap aku menyadarinya. Lagi.. Lagi.. dan terus seperti itu.“Pagi, Tante”, sapa Herlina pada Tante Lina pagi itu. “Eh? Iya, pagi. Gimana tidurnya? Nyenyak kah?”, saut Tante Lina. “Nyenyak banget, Tante hehe”, sambil tersenyum Herlina menjawab pertanyaan Tante Lina. Pagi itu Tante Lina meminta Herlina untuk membantunya menyiapkan sarapan.
“Tante..”, ucap Herlina. “Iyaa?”, saut Tante Lina. “Setiap hari Tante selalu buat sarapan kayak gini, yaa?”, tanya Herlina. “Ini baru terjadi selama 6 bulan terakhir kok. Semenjak Vicky pulang ke rumah sih, Tante selalu buatin sarapan dan makan malam buat dia”, jawab Tante Lina. “Hah? Maksudnya, Tante?”, Herlina terlihat bingung.
“Belum lama ini Vicky pulang ke rumah, setelah Mama nya meninggal dia memutuskan tinggal di mess kampusnya”, Tante Lina menjelaskan. “Aku baru denger ini dari Tante, lho?”, ujar Herlina. “Eh? Kamu engga tau?”, tanya Tante Lina. “Engga? Aku sama Kak Vicky baru banget kenal, Tante”, jawab Herlina. “Oh yaa, tolong ambilin paprika di kulkas itu, Herlina”, ucap Tante Lina. Percakapan mereka di dapur pagi itu.
“Crrrsssshhh...”, suara ayam yang sedang di goreng Tante Lina. “Jadi, kalian baru kenal yaa?”, tanya Tante Lina sambil menggoreng pada Herlina. “Iyaa, Tante. Belum lama”, jawab Herlina. “Hati hati lho kalo baru kenal”, ujar Tante Lina. “Iyaa, Tante, makasih udah di ingetin hehe”, saut Herlina tersenyum. “Sebenernya sih Tante masih engga nyangka kalo Vicky ngajak kamu nginep disini. Terlebih kamu bilang kalian baru kenal. Tante belum terlalu kenal sama Vicky yang sekarang soalnya, yang Tante tau adalah Vicky yang waktu kecil dulu”, ujar Tante Lina. “Vicky yang dulu sama Vicky yang sekarang sangat berbeda buat Tante. Vicky yang sekarang udah dewasa”, lanjut Tante Lina.
Pukul 09:00 Tante Lina membangunkan ku. Setelah mandi, kami langsung sarapan bersama.
“Enak engga?”, tanya Herlina padaku. “Eh?”, aku terkejut Herlina menanyakan hal itu. “Itu masakannya Herlina, lho?”, ujar Tante Lina. “Hah?”, aku terkejut lagi mendengar Tante Lina mengatakan hal tersebut. “Ternyata gini rasanya jadi satu satunya laki di tengah tengah perempuan”, gumam ku dalam hati.
“Oh yaa, hari ini lo mau kemana?”, tanya ku pada Herlina. “Kenapa emang?”, saut Herlina. “Iyaa, gapapa sih? Cuma nanya aja?”, ujar ku. “Mau coba ke kost’an Kakak aku yang pertama sih?”, ucap Herlina. “Kalo gitu Vicky ijin buat nganterin Herlina lagi hari ini, Tante”, ujar ku pada Tante Lina. “Eh? Engga usah, aku bisa sendiri”, saut Herlina. “Udah engga apa apa. Biarin Vicky anterin kamu, itung itung ada yang jagain kamu”, ujar Tante Lina. Seusai sarapan, Herlina pamit dengan Tante Lina. Kemudian aku pun mengantar Herlina ke kost’an Kakak pertamanya.
“Kak..”, ujar Herlina di perjalanan menuju kost Kakaknya. “Kenapa?”, saut ku. “Makasih banyak yaa buat semuanya”, ujarnya. “Ini yang sekian kalinya gua jawab dengan kata sama sama”, saut ku. “Hehe.. bisa aja deh”, Herlina tertawa karena perkataan ku itu. “Kak..”, lagi lagi Herlina memanggil ku. “Apa lagi? Gua lagi bawa motor, lho. Jangan ganggu konsentrasi orang yang lagi berkendara”, saut ku. “Hahaha nyebelin banget sih jadi cowok!”, ujarnya. “Boleh engga?”, tanyanya. “Boleh!”, jawab ku singkat. “Hng!?”, Herlina memeluk ku dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUTH : The Last Survive! [ONGOING]
Roman pour AdolescentsMasa remaja, dimana dunia fana menggoyahkan yang lemah jiwanya