BAB 1

469 61 17
                                    

Teruntuk kamu yang sedang berjuang melawan keterbatasan, you are not alone. I'm here." ~ Malfay.

🏈

Jakarta, 12 Juli 2012

"Udah dapet tanda tangan berapa, Fay?" Mendengar namanya disebut, gadis berkepang dua itu seketika mendongak. Terik matahari membakar kulitnya yang kuning kecoklatan. Ia sedikit menyipit, membiasakan amukan raja siang yang sukses membuatnya kilap mata.

"Dua puluh, doang." Tangannya merangsek menggaet buku tulis bersampul merah jambu. Sejurus kemudian, mengubah alih fungsi buku tersebut menjadi kipas, hawa panas kota Jakarta memang tak pernah bersahabat dengan siapa pun.

"Lo udah banyak, ya?" tebak Malfay sembari mengedarkan pandangan. Di hadapannya sekarang, terhampar lapangan basket yang didesaki puluhan murid baru berseragam putih biru. Semuanya memakai tanda penggenal yang terbuat dari kardus. Apabila siswi perempuan---diwajibkan mengepang rambutnya menjadi dua bagian. Tak jauh berbeda dengan penampilannya saat ini.

Jika ada yang bertanya pada gadis tersebut, hal apa yang membuatnya geram di masa orientasi, bisa dipastikan jawabannya adalah: berburu tanda tangan di hari terakhir MPLS.

Di saat seperti ini, para senior panitia MPLS akan berubah bak artis ibukota yang tengah dikejar-kejar penggemar untuk dimintai tanda tangan. Seolah belum cukup puas menjahili para junior, panitia MPLS juga menutupi name tag mereka dengan isolasi hitam serta bersembunyi di tempat-tempat tertentu. Semisal saja, kamar mandi. Berakhirlah, para junior harus mati-matian menebak nama mereka seraya menjalankan berbagai aksi memalukan agar mendapat bubuhan tanda tangan.

"Heh! Enak banget lo duduk-duduk!"

Malfay terkesiap. Gadis itu segera bangkit tatkala suara memekakan telinga menyapa indra pendengarannya. Di hadapannya sekarang, berdiri senior perempuan berambut panjang yang sedang
menatap nyalang. Senior tersebut mendekat, tanpa tedeng alig-alig menarik tanda pengenal yang menggantung di leher Malfay.

"Malfaya Adisty, dari gugus Muhammad Hatta," gumam senior itu, sengit. "Enak banget lo duduk-duduk, udah dapet berapa tanda tangan?"

Malfay mengerling ke Helda yang ternyata sudah melesat terlebih dahulu ketika mendapati seorang senior---yang sepertinya galak---berjalan ke arah mereka.

"Err...." Malfay tampak gugup. Akan menjadi kesalahan besar jika ia menyalakan 'sumbu' di masa orientasi.

Mendengus sebal, senior berambut panjang tersebut tanpa permisi menyabotase buku merah jambu milik Malfay. Membolak-balik halamannya cepat, lalu berhenti saat mendapati sebuah tabel bertuliskan Tanda Tangan Panitia MPLS SMA Tetra Nusa.

Malfay meneguk ludah. Tegang. Kakinya melemas dengan tatapan pias.

Mampus gue.

"Daritadi cuma dua puluh tanda tangan? Padahal tugas awalnya berapa? Tujuh puluh, kan?"
Gadis berkepang dua itu menunduk dalam diam. Nyalinya menciut. Padahal, niat awalnya hanya istirahat sebentar, tetapi kenapa senior yang satu ini tiba-tiba menghampirinya? Sambil marah-marah, pula.

Memutar bolanya sebal, senior tersebut tiba-tiba berteriak, "ARKAMPRET, SINI. KELUAR LO DARI TEMPAT PERSEMBUNYIAN!" Tangan kanannya mengudara. Memberikan lambaian singkat kepada seseorang.
Malfay yakin seratus persen, jika panggilan 'Arkampret' yang disematkan senior barusan pasti nama samaran agar para junior tidak mengetahui identitas asli mereka alih-alih tanpa syarat.

Tap ... Tap ... Trap!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang