BAB 6

141 45 13
                                    

"Maaf. Sepertinya, aku hanya ditadirkan untuk mecintai. Tapi bukan memiliki." ~ Arka

🏈

Arka benci kakinya. Kaki ini payah sekali, omong-omong.

Kenapa ia tidak bisa berlari sekencang dahulu? Keseimbangannya meredup, pula.

Cowok itu mendengus, gusar. Kemudian, tersadar jika tersisa salah satu anggota The Red Bulls di dalam kamarnya.

Malfaya Adisty. Gadis itu berkali-kali mengerling arlojinya menunggu sesuatu.

"Udah telpon Kakak lo buat jemput? tanya Arka memecah keheningan.
Mereka berdua duduk bersisian dengan pandangan menerawang jauh.

Satu jam yang lalu, sejumlah anggota The Red Bulls pamit undur diri menyisakan Malfay yang sedang menunggu jemputan. Anggota yang lain sempat menawarkan tumpangan kepada sang manajer tersebut untuk diantarkan pulang. Akan tetapi, Malfay tak enak hati jika harus merepotkan.

"Udah. Tapi, katanya kejebak macet di lampu merah." Gadis itu menghela napas kasar. Lalu, mengalihkan perhatian di sepenjuru kamar Arka. Penuh dengan pernak-pernik flag football.

"Kakak cinta banget, ya, sama flag football?" Malfay membuka percakapan. Hati gadis itu sedikit melunak terhadap Arka. Meski pada awalnya ia antipati terhadap klub The Red Bulls, lambat laun ia bisa menerima karena hangatnya kebersamaan yang tercipta dalam klub tersebut.

Senyum retak Arka terpatri sesaat. Sejurus kemudian, ia mengangguk mengiyakan. "Iya. Cita-cita gue jadi Quarterback Timnas."

"Semangat, Kak."

"Lihat poster itu, Fay?" Arka menunjuk sebuah poster bergambar salah satu tokoh atlit andalannya.

"Siapa?"

"Tom Braddy. Pemain NLF favorit gue."

"Lalu?"

"Gue pengen banget kayak dia. Kalau waktu mendukung, sih." Arka menutup penjelasaannya dengan sorot yang sulit didefinisikan.

Tidak lama kemudian, kehadiran klakson sepeda motor kakak Malfay membuat gadis itu seketika terkesiap. Ia segera meninggalkan kamar Arka sesaat setelah pamit undur diri. Sejuta tanya tanda mengiringi langkah sang manajer tersebut di sepanjang perjalanan pulang.

Ia ingin menyelami sisi tak terlihat Arka lebih dalam.

Namun, hanya seorang diri.

Karena ketika bersama yang lain, atau saat berada di keramaian, pemuda tersebut tak pernah sesendu saat didekap kesepian. Jiwa tersebut seolah lebih hidup. Tanpa dibalut topeng kemunafikan.

🏈

Malam harinya, saat pemuda berambut acak-acakan tersebut tengah berdiam diri di dalam kamar, ia menggaet secarik sticky notes dari nakas meja. Ia kemudian beranjak mengambil pena yang terletak di dalam tempat pensil. Untuk sementara waktu, kakinya bisa berjalan normal. Pemuda tersebut mendaratkan pantat di meja belajar, lalu mengguratkam tinta di atas selembar sticky notes tersebut.

Kebangkitan The Red Bulls.
Menang tournament Flag Football Teenagers.
Quarterback Timnas! :)

Lalu, ia menempelkannya di kaca bening depan meja belajar.  Semoga saja waktu mendukung. Semoga.

🏈

Arka kembali bersekolah. Seolah kemarin tidak terjadi apa-apa. Ketika latihan berlangsung, pemuda itu jauh bersemangat. Lemparannya tak pernah melesat. Menghasilkan sejumlah touchdown yang akurat. Malfay memperhatikan pemandangan itu dari tempat biasa. Gadis berambut terurai tersebut mendekap buku catatan mental milik Arka.

"Break bentar lima belas menit, ya. Setelah itu, balik lagi ke lapangan." Coach Angga mengintrupsi.

"Malfayyy, air minumnya, dong."

Seseorang yang namanya dipanggil sontak menciptakan seulas senyum masam.

Oke, jabatannya menjadi manajer memanv lebih mirip jongos. Tanpa penolakan, gadis itu menyambar botol minum dari ransel seluruh para pemain. Lalu, menyerahkannya kepada setiap pemilik satu persatu. Akan tetapi, saat gadis itu hendak menyerahkannya kepada Arka, sang Quarterback itu tak mengacuhkan. Tangannya tidak terjulur untuk mengambil botol minumnya sendiri.

"Kak?" Dengan posisi saling berhadapan, Malfay mampu melihat wajah Arka yang penuh peluh dan kelelahan. Tapi anehnya, cowok itu enggan mengambil botol minumnya.

"Aku bener 'kan ini botol minum Kak Arka?"

Namun, hal yang Malfay tidak tahu, Arka sedang mati-matian menggerakan tangan kanannya untuk mengambil botol minum tersebut. Akan tetapi, usahanya tidak membawakan hasil. Pemuda itu mendesah panjang. Selain kakinya yang terkadang mendadak payah, tangannya pun tak jauh berbeda. Durasinya yang sangat mendadak, tidak jarang menghambat aktivitasnya.

"Kak Arka?" Malfay menarik tangan kanan Arka, menyerahkan botol minum itu. "Nih, minumnya."

Arka menatap botol minum tersebut dengn sorot nanar. Andai ia bisa mengambilnya....

Malfay tersenyum puas. Lalu, saat gadis itu hendak kembali ke gerombolan The Red Bulls yang lain, botol minum itu tergelincir lalu menggelinding dari telapak tangan pemuda berambut acak-acakan tersebut. Seolah tangan itu hanyalah daging tanpa tulang yang sangat lembek untuk sekadar menerima botol.
Anggota The Red Bulls yang menyaksikan kejadian itu segera mendekat. Bertanya kondisi sang Quarterback.

"Ka, lo kenapa?"

"Kak Arka baik-baik aja, kan?"

"Harusnya, lo nggak usah masuk sekolah, Ka, kalo masih sakit."

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu justru membuat Arka semakin murka terhadap kondisi tubuhnya.

Ia menyedihkan. Arka sadar itu. Ia tak pantas menjadi Quarterback jika kaki, tangan, dan sel motoriknya tak mampu menjalankan tugas dengan baik sewaktu-waktu.

Bagaimana ketika turnamen nanti?

Apakah penyakit sialan ini bisa tiba-tiba kambuh?

Ah, ia tidak akan mengecewakan The Red Bulls. Membuat mama menangis. Papa marah karena tak bisa mengikuti jejaknya sebagai Quarterback Timnas.
Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri.

Nggak, Arka, lo pasti bisa!

🏈

Tap ... Tap ... Trap!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang