BAB 8

135 42 22
                                    

"Bahagiaku sederhana. Cukup melihat Mama tersenyum bangga atas prestasiku di flag football, itu sudah lebih dari cukup." ~ Arka.

🏈

Seorang gadis berambut sepunggung yang dibiarkan tergerai itu menggenakan kaos oblong berkelir abu dipadu celana training dengan warna senada menatap refleksinya sendiri di kamera ponsel. Kulit kuning kecoklatannya tampak serasi dengan pakaian gelap yang ia kenakan. Malfay meniup poni tengahnya, merasa bosan melihat latihan tambahan The Red Bulls di hari Minggu. Seperti biasa, posisi gadis itu di bawah pohon mangga. Mengawasi dinamika pemain berlatih, lalu sesekali menulis catatan mental dan data statistik tentang para pemain.

Meskipun ia tidak sepenuhnya paham tentang permainan flag football, Malfay mampu mengikuti.

"Ka, bisa bicara sebentar?" Coach Angga tiba-tiba mendatangi sang Quarterback yang sedang berlatih lempar-tangkap bersama Receiver Wide atau Kelvin.

Malfay yang segera menyadari tatapan ganjil Coach Angga kepada Arka, akhirnya ikut memerhatikan. Arka mengiyakan tanpa banyak membantah. Beliau membawa pemuda tersebut menepi dari keramaian. Hingga berhenti tepat di belakang pilar pembatas lapangan belakang yang agak jauh.

Malfay tentu tidak tinggal diam. Gadis itu segera melenggang ke posisi Arka dan Coach Angga secara sembunyi-sembunyi. Insting Malfay mengatakan, pasti akan ada info penting yang diberitahukan pelatihnya tersebut. Maka, langkah panjangnya membawa gadis itu  diam-diam bersembunyi di belakang pilar yang berbeda.

"Saya bukannya meragukan kemampuan kamu, Arka."

Malfay menajamkan pendengaran. Samar-samar, ia mendengarkan suara berat Coach Angga.

"Tapi, Coach...."

"Mama kamu yang cerita ke saya. Beliau meminta kamu keluar dari klub."

"Enggak. Kalo saya keluar dan berhenti main Mama pasti sedih, Coach." Arka tampak menggeleng tegas.

"Namun, kenyataannya Mama kamu pasti akan jauh lebih sedih kalau beliau kehilangan kamu, Arka."

"Saya nggak bisa keluar dari The Red Bulls dan berhenti main flag football."

Malfay terperanjat. Tangan gadis itu terulur membekap mulutnya sendiri.

"Arka...." Suara Coach Angga terdengar memohon.

"Tidak, Coach. Saya tidak akan melakukan hal tersebut sebelum mencapai tiga impian saya." Arka menatap mata lawan bicanya sungguh-sungguh.

"The Red Bulls menjadi klub yang berjaya, The Red Bulls memenangkan turnamen Flag Football Teenagers, saya terpilih menjadi Quarterback Timnas."

"Saya ngerti kamu anak muda yang idealis. Punya banyak ambisi dan target-target besar dalam hidup. Tak bisa dikekang dan ingin hidup bebas. Bukannya saya mau mematahkan harapan kamu, Arka. Tapi, kondisi kesehatan juga harus diperhatikan. Bagaimana dengan ataxia kamu?"

Kedua kaki Malfay melemas mendengar kata ataxia. Wajahnya dilingkupi keterkejutan atas informasi yang baru saja diperoleh. Perlahan, gadis itu mencoba menghubungkan data-data yang ia terima tentang kesehatan Arka.

Ah, ia menemukan satu titik terang. Sebuah kesimpulan yang terlalu pahit untuk dibayangkan.

Setelah negosiasi panjang, Coach Angga memutuskan kembali ke lapangan. Akan tetapi, tidak dengan Arka. Pemuda itu belum juga beranjak. Telapak tangannya terkepal kuat. Sementara sorot matanya menyiratkan amarah yang bercampur keputusasaan.

Tap ... Tap ... Trap!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang