BAB 10

124 35 2
                                    

"Cuma di The Red Bulls lo bisa berbagai luka, berbagai tawa, berbagi cerita, berbagi duka, dan cinta." ~ Malfay

🏈

Selama seminggu penuh, Arka menjalani pengobatan total di rumah sakit. Pemuda tersebut absen dari pembelajaran di sekolah. Kondisinya diperparah dengan komplikasi fungsi jantung. Psikologisnya menurun drastis. Amarahnya mudah sekali tersulut jika teringat impiannya yang terpaksa hancur tak bersisa.

Arka ingin sekali berlari. Berlari kencang menghindari realita. Fakta jika kakinya tidak lama lagi akan cacat permanen membuat pemuda tersebut kian terpuruk. Ia rindu suasana tribun ketika bertanding. Ia rindu berlari sambil membawa bola lalu ditangkap oleh Receiver Wide. Ia rindu berlatih bersama anak The Red Bulls yang lain.

Ah, Arka rindu semuanya.

Sorot matanya mengerling ke bola oval berwarna coklat di atas meja rumah sakit. Bola itu bertuliskan:

Fighting! Kak Arka Quarterback Timnas!

Saat pikirannya telah berkelanana nun jauh di sana, pintu rumah sakit tiba-tiba diketuk oleh seseorang. Arka menduga itu pasti mamanya. Pagi tadi, mamanya izin mengurus BPJS terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah sakit.

Akan tetapi, dugaan Arka melesat. Bukan sosok mama yang ia dapati di sana. Melainkan, manajer The Red Bulls bernma Malfya Adisty. Gadis dengan rambut panjang yang terurai dihias jepit kupu-kupu itu menggenakan seragam batik hijau milik SMA Tetra Nusantara, kedua jemarinya saling bertautan, pipi gembilnya terkembang karena seulas senyum manis.

"Hai, Kak Arka," sapanya, riang.

Arka balas tersenyum. Melenyapkan raut duka yang menggelayuti wjahnya. Ada rahasia besar yang tidak diketahui anggota The Red Bulls, yaitu tentang penyakitnya yang mengalami komplikasi fungsi jantung.

Malfay duduk di samping brankar Arka. Gadis itu lalu mengeluarkan secarik kertas berkelir biru langit. "Dua hari lagi The Red Bulls bakal tanding, Kak." Ia pun menyerahkan tiket pertandingan tersebut kepada Arka.

Arka menatapnya sekilas. Ide gila tebersit di kepalanya. "Fay, culik gue, dong."

"Hah? Maksudnya?"

"Iya, culik gue. Bawa gue ke lapangan belakang sekolah. Anak-anak pada latihan, kan, hari ini? Gue pengen gabung."

"Kak Arka tapi---"

"Gue masih bisa jalan, Fay. Cuma nggak seoptimal dulu."

Malfay didekap keraguan. Di saat kondisi Arka seperti ini, haruskah ia mengiyakan? Melihat wajah Arka yang pucat saja membuatnya  tidak yakin.

"Malfay, gue pengen nyemangatin anak-anak sebelum tanding."

"Kalau tiba-tiba kambuh gimana?" tolak Malfay, sangsi.

"Gue pengen ngelihat latihannya anak-anak. Please, Fay. Gue mohon. Ini terakhir."

Kata 'terakhir' yang diucapkan Arka membuat Malfy bergidik. Tetapi, ia sendiri tidak tahu apa penyebabnya..

🏈

Ide gila yang pernah Malfay lakukan bersama Arka adalah kabur dari rumah sakit setelah melakukan penyamaran. Padahal, niat awal Malfay membesuk Arka hanya untuk membagikan tiket pertandingan Flag Football Teenagers kepada pemuda tersebut.

Namun, ia justru luluh dan mengiyakan permohonan Arka.

Arka tergelak di sepanjang perjalanan, Malfay jadi teringat betapa bodohnya ia ketika melewati satpam-satpam penjaga rumah sakit. Untung saja tidak ketahuan.

Sesampainya di lapangan belakang SMA Tetra Nusa, kehadiran Arka diserbu dengan pelukan anggota The Red Bulls yang sedang beristirahat. Coach Angga datang untuk menanyakan bagaimana kondisi sang Quarterback tersebut.

"Ka, maaf lo masih belom boleh main. Posisi Quarterback diganti Mario."

Arka mengangguk. Berusaha mengerti. Meski pedih, ia harus mengakui. Ataxia membuat kakinya payah. Dengan kaki lumpuh begini, bagaimana Arka bisa berlari di lapangan?

Bukankah semesta selalu memaksanya menghentikan impian?

Satu-satunya jalan yang harus ia pilih adalah: menyerah.

Tidak ada jalan lain. Ataxia membuat harapannya pupus sebelum berperang.

Malfay mendekat. Menepuk pundak Arka berusaha menguatkan. "Meskipun udah nggak bisa main, Kakak masih bisa jadi Manajer kayak aku. Atau, jadi penikmat flag football."

Pemain The Red Bulls saling menatap Arka lekat-lekat. "Arka, The Red Bulls bakal main maksimal di turnamen nanti. Demi lo. Demi kebangkitan The Red Bulls. Demi impian masing-masing."

Coach Angga yang menyaksikan solidaritas anggota The Red Bulls mengulum senyum bangga. Dengan semangat berkobar, ia berteriak, "We are?"

"Red Bulls! Red Bulls! Red Bulls!"

"Red Bulls satu?"

"Red Bulls keluarga!"

🏈

Kelima belas anak manusia itu berbaring di atas rumput lapangan belakang sekolah sambil bergandengan tangan. Semuanya menatap harapan yang sama. Arka tersenyum memandang langit senja kala itu. Bersama The Red Bulls, keluarga keduanya setelah latihan panjang yang melelahkan.

"Momen kebersamaan ini nggak akan gue lupain, guys," celetuk Arka, membelah keheningan, "Meskipun nggak lama lagi gue bakal keluar dari klub ini ... gue masih anggota The Red Bulls. Selamanya akan tetap seperti itu."

"Turnamen ada di depan mata. Gue berharap, The Red Bulls bisa memenangkan ajang bergengsi ini. Dengan begitu, eksistensinya akan naik daun. The Red Bulls enggak terancam bubar."

"Gue juga berharap, gue masih bisa bertahan sampai serangkaian turnamen Flag Football Teenagers berakhir. Supaya gue bisa dukung kalian semua. Supaya gue bisa dateng ke acara saat kalian tanding. Hal yang paling gue takutin takutin, ataxia ini justru mempersingkat umur gue."

"Arka! Lo ngomong apa, sih?" Sakka tiba-tiba bangkit. "Lo pasti bisa bertahan, Ka. Gue yakin lo bakal balik kayak dulu. Lo bisa jadi Quarterback Timnas. Lo bisa!"

Arka memilih bungkam. Sejurus kemudian, ia tersenyum getir. Cowok yang telah berganti pakaian dengan jersey biru-putih itu tiba-tiba merasakan kepalanya berdenyut luar biasa. Sakit kepalanya berdentang-dentang bak palu yang menghantam hebat. Arka meringis. Akan tetapi, bukannya mereda, rasa sakit itu justru semakin menjadi, menjalar hingga ubun-ubun membuatnya refleks menjerit kesakitan sambil memegangi kepala.

Anggota The Red Bulls kontan mempertanyakan kondisi pemuda tersebut.

"Arka, lo kenapa?"

"Kak Arka, lo bawa obat nggak?

"Are you okay?"

Rasa nyeri kian menjalar. Kepalanya seolah nyaris pecah. Belum sempat Arka menjawab bagaimana kondisinya, tiba-tiba, pandangan matanya memburam. Kesadarannya perlahan hilang. Hingga semuanya menghitam. Gelap.

Samar-samar, sebelum Arka tidak sadarkan diri, ia mendengar Malfay berseru, "Bawa Kak Arka ke rumah sakit!"

🏈

Tap ... Tap ... Trap!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang