BAB 7

133 46 5
                                    

"Semesta kenapa jahat banget, ya, Fay?" ~ Arka.

🏈

Mengingat insiden Arka ketika berlatih sepulang sekolah kemarin, membuat Malfay jadi teringat perkataan Arbim tempo hari lalu.

"Kak Arka emang suka gitu tiba-tiba, Fay. Selain sering jatuh-jatuh sendiri, dia juga sering ngejatuhin benda-benda di sekitar karena tangannya yang nggak mampu buat ngambil."

Gadis itu menghela napas kasar. Sepertinya, kondisi kesehatan Arka memang patut dipertanyakaan. Di tengah pelajaran Sastra Inggris, Malfay membuka catatan mental pemain The Red Bulls. Sementara itu, pikirannya menerawang jauh.

"Pernah juga nggak masuk sekolah sampe seminggu lebih. Terus, di awal-awal masuk Kak Arka jadi sensi parah."

"Yan, turnamen tinggal berapa minggu lagi?" tanya gadis itu sambil melirik teman sebangkunya.

"Tiga minggu, kali. Atau dua minggu, ya? Lo gimana, dah sebagai manajer yang ngurus begituan?"

Malfay mengigit tutup bolpoinnya, cemas. "Dua minggu, kayaknya."

"Kenapa emangnya?"

"Kondisi Kak Arka bikin gue khawatir. Dua minggu lagi turnamen tapi kondisinya kian memburuk. Dia sakit apa, sih, sebenernya?"

Hening.

Rian tak mampu menjawab pertanyaan Malfay. Mereka berdua sama-sama terjebak dalam labirin panjang yang diciptakan sang Quarterback.

🏈

Gadis berambut panjang yang dibiarkan tergerai itu datang latihan lebih awal dari biasanya. Ia bersandar pada dahan pohon mangga tempat anggota yang lain meletakkan tas.

Dari arah timur, seorang pemuda dipeluk jersey bernomor punggung 23 berjalan mendekat ke arah pohon mangga sambil menggengam bola flag football.

Akan tetapi, sebelum langkahnya mencapai tujuan, tubuh pemuda tersebut tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Sedetik kemudian, ia terjerembab ke dalam kubangan air selepas hujan. Jersey putih birunya basah kuyup. Wajahnya harus rela berendam di dalam air kubangan. Sementara telapak tangannya terasa pedih akibat bergesekan dengan pasir serta kerikil.

Malfay yang menyaksikan kejadian tersebut kontan memekik ngeri. Ia berlari terbirit untuk membantu sosok yang sepertinya kesusahan bangkit tersebut. Alih-alih meringis kesakitan, Arka justru menampakan raut tidak suka. Wajahnya mengeras. Lagi, ia benci kakinya.

"Sini, Kak." Malfay dengan hati-hati memapah berdiri. Namun, gadis itu merasa ada yang ganjil. Ia menyadari kedua kaki Arka yang tampak seperti jeli tidak bisa digerakkan.

"Kaki kakak kenapa?"

Arka memilih bungkam. Namun, sorot matanya menyiratkan ketidaksukaan terhadap pertanyaan Malfay.

Mengabaikan hal tersebut, Malfay masih bersikeras membantu sang Quarterback itu berdiri meski ia sendiri kepayahan. Ia menyesal karena memiliki tubuh mungil dan tidak seberapa tinggi. Karena hal tersebut, ia jadi kesulitan menolong Arka.

Lengan Arka terulur melingkari bahu Malfay. Sementara Malfay menuntunnya secara hati-hati hingga mencapai pohon mangga. 

"Kakak tunggu sini, aku mau ke ngambil obat merah ke UKS dulu."

Sebelum Arka sempat mencegah aksi sang manajer The Red Bulls itu, Malfay segera memelesat pergi. Gadis itu datang tak lama kemudian membawa obat merah, disinfektan, kain kasa dan plester luka, serta sebaskom air hangat.

Dia duduk di samping tubuh Arka, sejurus kemudian mulai menyibak rambut sang Quarterback yang kotor tersebut akibat kubangan air.

"Harusnya, lo nggak perlu repot-repot gini, Fay," gumam Arka ketika Malfay membersihkan wajahnya dari pasir dengan kapas.

"Nggak repot kok, Kak," dalih Malfay, sambil mulai mengompres air hangat di beberapa luka memar Arka.

"Gue emang nggak guna banget."

Gerakan Malfay seketika terhenti. "Hust. Kakak nggak boleh ngomong gitu," ucapnya datar seraya menempelkan jemari telunjuk tepat di bibir lawan bicaranya.

Arka menghela napas panjang. "Ada fase di mana, gue pengen nyerah sama semuanya."

"Bukankah Kak Arka punya cita-cita sebagai Quarterback Timnas? Jadi, jangan nyerah dulu."

Tawa Arka sontak menggema di udara. Terdengar pahit. Menyesakkan. "Iya. Gue belum nyerah. Karena tiap kali pengen nyerah, gue teringat tangisan nyokap saat menatap foto bokap," jeda sejenak. Cowok berambut acak-acakan itu menghela napas. "Bokap gue dulunya Quarterback Timnas."

Seketika, kedua bola mata Malfay terbeliak. "Wah, keren! Serius?" Gadis itu kembali mengobati lutut pemimpin The Red Bulls yang berdarah.

Ketika mengenang orang yang paling berarti di hidupnya, Arka mengulas senyum tulus. "Iya. Bokap orang pertama yang memperkenalkan gue kepada olahraga flag football, sering ngajakin gue nonton liga NFL, menculik gue untuk dibawa ke tempat latihannya, atau segala hal yang berhubungan dengan flag football. Tapi, itu dulu...."

"Kalo sekarang?" Malfay bertanya polos.

"Beliau udah meninggal. Tujuh tahun yang lalu, akibat kecelakaan tabrak lari."

Seketika, raut wajah sang manajer tersebut dipenuhi perasaan bersalah. Ia pun menunduk salah tingkah. "M-maaf, Kak. Aku nggak tahu."

Arka mengangguk, memaklumi. "Di awal kepergian bokap, nyokap bener-bener terpukul. Gue...." Cowok itu tak mampu melanjutkan kalimatnya. Keping kenangan tentang sosok ayah di hidupnya berputar membuat kilas balik.

"Gue sebagai pabrik pemenuh ekspetasi nyokap. Nyokap bisa tersenyum sampai sekarang karena gue gabung klub flag football. Kata nyokap, sosok gue mengingatkan beliau pada bokap yang udah pergi. Kalau beliau kangen sama bokap, tinggal lihat aja wajah gue. Kita bak pinang dibelah dua. Karena hal tersebut juga, nyokap membebankan seluruh kehebatan bokap kepada gue."

"Gue nggak menyalahkan nyokap, sih. Gue juga cinta sama flag football, kan? Tapi masalahnya, semesta nggak mendukung impian itu, Fay. Gue takut akan mengecewakan nyokap. Membuat dia menangis lagi karena gue nggak bisa jadi Quarterback Timnas seperti bokap."

Senyum tulus terpatri di bibir merah muda Malfay. Gadis itu menggeleng kuat-kuat. Mengambil alih bola oval bewarna coklat yang tergeletak tidak jauh dari mereka, lalu mulai menggoreskan sesuatu di sana.

Fighting! Kak Arka Quarterback Timnas!

Tawa Arka kontan meledak menyaksikan bola flag footballnya dicoret-coret oleh Malfay. Tak lama berselang, gadis itu ikut tergelak bersama sang Quarterback sambil sesekali mencuri pandang. Dalam hati, ia menghela napas lega. Setidaknya, untuk saat ini ia mampu menghibur Arka---si bunglon yang pandai berkamuflase dan memiliki sisi gelap yang tak diketahui banyak orang.

🏈

a/n

Arka itu ... pandai berkamuflase.
Dia emang keliatan sengklek kalo sama anggota The Red Bulls yang lain. Tapi, kenyataannya enggak. Dia terluka.

Tap ... Tap ... Trap!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang