"Jagain The Red Bulls, ya. Demi gue." ~ Arka.
🏈
Arka tidak pernah melihat mama menangis sehisteris tadi kecuali saat teringat papa. Di awal kepergian papanya, mama tak jarang terisak sesenggukan sambil mendekap erat potret beliau.
Akan tetapi, tangis itu seketika sirna saat mama melihat dirinya memamerkan jersey bernomor punggung 23---nomor jersey papanya dulu saat menjadi Quarterback Timnas--dengan raut bangga.
"Mama, Arka keterima jadi Quarterback klub The Red Bulls!" Pelukan hangat dari mama lantas menerjang tubuhnya. Tangis haru menguar membuat Arka bangga untuk terus membuat mamanya bahagia.
Sejak saat itu, ia tak pernah mendapati lagi air mata kering di pipi mama. Sejak saat itu pula, seakan-akan ia menggantikan posisi papa.Jika ia sudah dewasa, Arka harus menjadi Quarterback Timnas. Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak membuat mama menangis dengan cara berlatih, berlatih, dan terus berlatih mengembangkan skill permainan flag football-nya.
Akan tetapi, kali ini ada yang berbeda. Mamanya menangis histeris tatkala melihat kondisinya begitu ia membuka mata.
"Arka, kamu berlatih flag football lagi, ya?" seloroh wanita paruh baya itu dengan suara parau. Tangannya kemudian terulur untuk membelai lembut puncak kepala putra semata wayangnya.
Karena kondisinya masih sangat lemah, Arka hanya mampu menggeleng lirih.
"Jangan memaksakan diri, Ka. Mama nggak suka."
"Arka ... me-mak-sakan d-diri juga supa-ya j-adi Quarterback ka-yak Papa." Akhirnya kalimat itu terlontar juga meskipun pita suaranya teramat sakit untuk berbicara.
Serta-merta, mama langsung mendekap tubuh ringkih Arka ke dalam pelukannya, Arka nyaris kesulitan bernapas jika wanita itu tidak segera mengendurkan peluakan eratnya. Sang Quarterback tersebut juga mampu merasakan tumpahan kristal bening yang menyeruak membasahi pakaian.
"Maafin Mama, ya, berkat ambisi Mama ... kamu harus mati-matian jadi Quarterback sampai memaksakan diri terlampau jauh." Beliau juga lantas mencium kening Arka penuh kasih sayang. "Ka, Mama minta satu hal sama kamu. Boleh?"
Arka memang tak menjawab, tetapi melalui tatapan matanya, seolah mengatakan 'apa'.
"Menyerahlah saja. Berhenti main flag football."
Menyerah. Menyerah. Menyerah.
Semesta mendesak hidupnya untuk menyerah.
Tapi, bukan Arka Arzhaldi bila menyerah melepaskan flag football begitu saja.
Sejenak, ia teringat perkataan Malfay.
Kakak bisa istirahat kalo masih capek.
Kakak boleh berhenti main dulu untuk sementara waktu kalo kondisi tubuh Kakak sedang enggak memungkinkan.Jiwa Arka dengan flag football sudah menyatu. Susah memang jika harus dilepaskan.
🏈
Serangkaian turnamen Flag Football Teenagers telah berlangsung dua minggu sebelumnya. The Red Bulls mendapatkan tiket final melawan The Aligators untuk memperebutkan juara pada turnamen Flag Football Teenagers.
Anggota The Red Bulls bersorak bahagia, usaha mereka membuahkan hasil. Demi kebangkitan The Red Bulls. Demi kapten mereka yang sedang berjuang melawan penyakit di rumah sakit. Demi mengejar impian masing-masing.
Kabar tersebut datang bersamaan dengan hasil diagnosis Arka yang dinyatakan mengalami lumpuh total secara permanen oleh dokter. Kondisi pemuda tersebut semakin parah dari hari ke hari. Selain ataxia komplikasi fungsi juga menyebabkan ia tak sebugar dulu.
Namun, Arka masih memasang tampang tengil sebagai ciri lhas khas dan seringai jahil menyebalkan. Dengan kursi roda sebagai alat bantunya sekarang, Arka dipapah Malfay menuju bangku kosong yang disediakan untuk pengguna disabilitas di GOR tempat diselenggarakan Flag Football Teenagers.
Malfay mendaratkan tubuh di sebelah Arka. Gadis berambut panjang itu tidak mampu membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Arka saat ini.
Turnamen Flag Football Teenagers yang pemuda itu idam-idamkan sedari dulu kini hanya menjadi angan-angan belaka karena keterbatasan fisiknya.
Namun, yang membuat Malfay lebih menderita, ia harus menyaksikan raut wajah Arka yang biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa.
Kak Arka, please, berhenti kamuflase. Itu yang ngebuat lo semakin menyedihkan.
"Kickoff!"
Sorakan dari penonton arah tribun semakin menyuntikkan semangat para pemain di dalam lapangan.
Anggota The Red Bulls telah bersiap pada posisi masing-masing. Begitu juga dengan tim lawan. Begitu peluit wasit berbunyi, Devensive Line yang terdiri dari Sakka, Gilang, Nugraha, Wildan menjalankan tugasnya dengan baik menghadang lawan serta melindungi Quarterback. Offensive Line pun juga berjaga agar bola tepat dibawa ke endzone.
Tight End berlari menjaga bola. Sementara Receiver Wide---Kelvin berlari dengan kecepatan penuh menangkap bola dari Mario, sang Quarterback pengganti Arka.
"Kak Arka?" Malfay memanggil pemuda itu di tengah pertandingan.
Atensi Arka sontak teralih. "Apa?" tanyanya dengan dahi berkerut.
"Meskipun Kakak udah nggak main, pintu The Red Bulls terbuka lebar buat Kak Arka. Sebagai mantan Quarterback yang pernah mengatur strategi dan jalannya pertandingan, boleh dong nanti sharing."
"Boleh. Kalo waktu Kakak masih panjang, ya."
Entah kenapa, Malfay merasa janggal dengan penuturan Arka.
Kalau waktu Kakak masih panjang, ya.
🏈
The Red Bulls harus berlapang dada menerima kekalahan dari The Aligators dengan skor perelahan akhir 24-12.
Penghargaan silver medal pada pertandingan kali ini disamber oleh The Red Bulls sebagai juara dua turnamen Flag Football Teenagers.
Raut kekecewaan tergambar jelas di wajah semua anggota. Perasaan bersalah pun juga turut andil."Kalian udah keren, kok." Arka berusaha menghibur teman-temannya. Meskipun sekarang tenggorokannya teramat sakit jika digunakan berbicara, ia tetap memaksakan diri terlihat baik-baik saja di depan banyak orang.
"Maaf, Ka."
"Ngapain, sih, minta maaf? Kalian udah keren parah, tau." Kekehan kecil cowok itu refleks mengalun. Bersamaan dengan tangan kanannya yang terangkat ke udara mengajak high five ala The Red Bulls. "Buat awal kebangkitan The Red Bulls!"
Perasaan lega menelusup di benak semua anggota The Red Bulls. Mereka pikir, Arka akan marah. Kecewa berat dengan mereka karena tak mampu mengantongi gold medal dalam turnamen kali ini.
"Mendapat juara dua dan masuk final menurut saya sudah hebat. Hadiahnya, kalian semua saya traktir makan sepuasnya." Informasi dari Coach Angga sontak membuat anggota The Red Bulls bersorak heboh dan lebay. Ciri khas mereka.
"Eh tapi sebelum itu, foto dulu, yuk," ajak pelatih tersebut seraya mengeluarkann ponsel. Ponsel berlogo gigitan apel itu diarahkan ke seluruh anggota The Red Bulls. Arka berada di tengah-tengah dengan menggunakan kursi roda. Malfay, satu-satunya cewek yang berada di samping Arka dengan pakaian santai, sementara anggota lain bergaya lebay sambil memamerkan silver medal. Senyum ceria menghiasi wajah keenam belas anak manusia tersebut.
"Are we?"
"Red Bulls! Red Bulls! Red Bulls!"
🏈
KAMU SEDANG MEMBACA
Tap ... Tap ... Trap!
Teen Fiction[Bukan Tentang Cinta-Cintaan] Tap ... tap ... kamu diburu waktu. Tap ... tap ... semesta memaksamu menghentikan angan. Tap ... tap ... kebahagiaanmu direnggut secara perlahan. Tap ... tap ... mimpi-mimpimu dipatahkan nyaris tak bersisa Trap! Kamu me...