BAB 9

158 41 24
                                    

"Gue nggak bakal pergi, Fay. Cuma pindah ke Venus, kok."

Bangunan putih beraroma desinfektan itu menjadi tempat terakhir yang ingin Arka kunjungi---setidaknya, untuk saat ini. Bersama seorang wanita paruh baya yang mendorong kursi rodanya, pemuda itu menundukkan kepala. Selang infus di pergelangan tangannya ia tatap penuh kebencian.

Sial. Seharusnya, sekarang menjadi jadwal latihan The Red Bulls. Akan tetapi, ia justru terperangkap dalam rumah sakit dengan selang infus dan jadwal terapi antioksidan.

Kejadian tadi pagi masih terbayang jelas di benak Arka. Ingatannya terlempar ketika ia kehilangan pengelihatan. Tanpa sengaja, dirinya menjatuhkan sepiring nasi cumi untuk sarapan. Tak lama kemudian, disusul jeritan histeris mama saat mengetahui kondisinya kian memburuk. Mama sudah memperingatkan untuk terapi antioksidan, akan tetapi Arka saja yang membelot dan lebih memilih latihan flag football. Kini, jangan salahkan bila penyakit yang bercokol di saraf degerenatif itu menyerang indra pengelihan serta anggota geraknya jadi sulit digerakkan.

Arka tak pernah menyadari, jika penyakit genetis yang diidapnya sedari kecil itu bisa semengerikan ini ketika usianya menginjak tepat 18 tahun. Sejak saat itu, dunianya menggelap. Ia tidak tahu apa yang harus diperbuat selain  pura-pura bahagia di hadapan orang yang ia sayangi.

Terkadang, hidup memang semunafik itu.

🏈

"Bagaimana hasilnya, Dok?"

Sayup-sayup, Arka mampu mendengar percakapan mama dan dokter spesialis yang biasa menangani penyakitnya. Meski kondisinya teras lemas sesusai terapi antioksidan, cowok itu sudah sadarkan diri dengan berbaring di brankar rumah sakit.

"Komplikasi yang dialami anak Ibu memperparah kondisinya sekang. Dia olahraga terlalu berlebihan, Bu. Memaksakan kondisi fisiknya sendiri hingga menyebabkan pelemahan sistem jantung."

Arka menelan salivanya. Pahit. Pandangan matanya buram oleh air mata. Impiannya diberhentikan paksa oleh semesta. Quarterback Timas tidak akan menerima dirinya yang penyakitan dan berisiko lumpuh. Dia tidak bisa berlari cepat, tidak kuat menghadang musuh, tidak mampu menjaga keseimbangan.
Lambat laun, ia juga akan kehilangan indra pengelihatan, pendengaran, gangguan motorik serta yang paling menyedihkan ...  kematian.

"Papa, Arka mulai capek. Harapan Arka berkali-kali dipatahkan sama semesta."

🏈

Malfay sudah membuat keputusan. Keputusan besar yang akan ia sampaikan kepada anggota The Red Bulls nanti sepulang latihan. Turnamen terhitung satu minggu lebih sedikit, tetapi kondisi Arka sangat tidak memungkinkan.

Namun, pemuda tersebut tetap memaksakan ikut. Memforsir tenaganya habis-habisan.

Bagaimana jika ataxia Quarterback itu mendadak kambuh?

Jangan sampai!

Malfay berharap agar insiden tersebut tidak terulang kembali. Ia menolak jika Arka keras kepala dengan memaksakan diri.

Baiklah, sekarang waktunya. Ia harus memberitahukan penyakit Arka kepada anggota The Red Bulls.

Sambil mendekap buku catatan mental pemain, Malfay berujar gamang di tengah riuhnya pemain The Red Bulls selepas berlatih kemampuan lempar-tangkap. "Guys, kita bisa bicara sebentar? Tentang Kak Arka."

🏈

Taman rumah sakit sore itu terlihat lenggang. Gumpalan awan seputih kapas menari-nari di kaki langit. Angin berhembus kencang memainkan rambut acak-acakannya yang menyentuh dahi. Pengelihatannya sudah kembali. Tetapi, tidak senormal orang lain. Samar-samar, ia masih melihat tanaman hias yang menggantung di sisi taman. Anggota geraknya pun semakin hari semakin memburuk. Tidak bekerja sesuai fungsinya. Lantaran hal tersebut, ia diharuskan menggunakan kursi roda untuk bisa ke mana-mana.

Tap ... Tap ... Trap!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang