BAB 5

157 44 8
                                    

Ini kah yang dinamakan kekeluargaan dalam The Red Bulls?

Memakan sepuluh buah nasi bungkus untuk tujuh belas anggota?

"Marko, Setan! Itu ayam gue, woi!" Revan menoyor kepala Marko. Sedangkan yang menjadi tersangka, hanya menyengir lebar sambil bersembunyi di balik punggung Malfay.

Semua anggota sontak terkekeh eli.

"Mana ada, Kambing. Ayam kita bersama!" koreksi Enggar sambil mencomot telur mata sapi. "Mana, Ko, bagi-bagi sini ayamnya."

Hati Malfay meluruh menyaksikan kebersamaan sore ini. Selepas latihan yang melelahkan, Riezal, Yuven dan  Mario datang menenteng sepuluh buah nasi bungkus yang dibeli dari kantin menggunakan uang KAS. Seluruh anggota spontan semua bersorak girang. Melupakan insiden seputar Arka sejenak. Dengan semangat 45, anggota The Red Bulls membentuk lingkaran besar di tengah lapangan. Menyantap nasi kotak bersama sambil saling berbagi lauk. Kehebohan yang sempat meluntur saat latihan, kini meruak kembali di sela kebersamaan. Candaan pun sesekali terlontar.

Malfay tersenyum tipis. Hangat. Meskipun ia cenderung pendiam, perasaan itu mengisi kekosongan hatinya.

🏈

Masa orientasi telah sepenuhnya berakhir. Malfay telah resmi menjadi siswi putih abu-abu sekarang. Tidak ada lagi kewajiban berkepang dua. Pembagian penjurusan sudah terpampang lebar di mading sekolah. Lantaran terlalu bersemangat, Malfay segera memelesat ke TKP untuk mengetahui diterima di kelas dan jurusan apa gadis tersebut.

Setelah berdesakan dengan puluhan murid lain, akhirnya Malfay mampu menyelinap di tengah-tengah kerumunan untuk mencari namanya. Mata bulat gadis tersebut menilik cepat kertas pengumuman hingga akhirnya berhenti ketika menemukan hal yang ia cari.

Nama: Malfaya Adisty
Asal: Gugus Muhammad Hatta
Diterima di jurusan: X Ilmu Bahasa Budaya

Malfay tersenyum. Jurusan Bahasa. Jurusan yang menjadi impiannya selama ini. Alasannya simpel, karena ada pelajaran Bahasa Jepang yang lebih eksplisit daripada jurusan lain.
Setelah berhasil keluar, ia segera memelesat menuju kelas barunya di lantai dua. Perasaan gadis itu campur baur.

Dengan hati berdebar, ia melangkah memasuki kelas X IBB. Sorot matanya dengan cepat mencari keberadaan bangku yang masih tersisa. Akan tetapi, ia tak kunjung menemukan. Nyaris semua sudah berpenghuni.

"Malfay?"

Refleks, ia pun menoleh.

"Sini, masih kosong." Seorang cowok berambut cepak menepuk bangku di sebelahnya. Malfay tersenyum. Ia mengenal pemuda tersebut. Dia Rian. Anggota baru flag football kelas X.

"Makasi, ya."

"Sama-sama." Rian lantas mengeluarkan komik Conan edisi terbaru dari ransel. "By the way, lo udah baca info terbaru dari grup?"

"Belum. Kenapa?"

"Kak Arka sakit. Nanti, sepulang sekolah kita sama-sama jengguk dia."

🏈

Arka sakit. Menjadi topik yang hangat diperbincangkan anggota The Red Bulls. Karena hari ini tidak ada latihan, mereka merencanakan membesuk Sang Quarterback tersebut sepulang sekolah. Ini bukan kali perfama Arka jatuh sakit. Cowok tengil itu akhir-akhir ini kerap kali tidak masuk sekolah dengan alasan yang sama; sakit. Begitulah menurut keterangan anggota yang lain. Ditambah lagi menjelang turnamen, kondisi Arka yang tidak mumpuni mengkhawatirkan Coach Angga.

Sebuah rumah bercat putih gading dengan pagar menjulang tinggi menyambut kehadiran mereka. Malfay turun dari boncengan sepeda motor Rian. Gadis itu memilin tali tas ranselnya. Matanya menatap lurus pagar rumah Arka dengan perasaan yang sulit diungkapkan.

Anggota The Red Bulls yang lain segera menyusul setelah memarkirkan sepeda motor mereka di lahan kosong samping rumah Arka.

Malfay memencet bel rumah tersebut. Anggota yang lain bergabung di belakang dirinya. Tak lama berselang, seorang wanita setengah abad keluar membukakan pagar. Senyum wanita itu tercetak lebar meski kerut di wajahnya tampak mendominasi.

"Masuk, yuk. Arka ada di kamar."

Anggota The Red Bulls mengikuti langkah wanita tersebut dalam diam sesaat setelah bersalaman. Mereka menaiki anak tangga menuju lantai dua kamar Arka berada. Sesampainya di depan pintu hitam yang dipenuhi stiker wajah Dew Brees, seluruh anggota The Red Bulls masuk satu persatu selepas mengetuk pintu.

Malfay memilih berada di barisan paling belakang, di samping Revan dan Arbim. Gadis berambut sepunggung yang dibiarkan tergerai itu refleks memindai seisi ruangan ketika kakinya menginjak lantai marmer kamar Arka.

Hal pertama yang dapat ia tangkap adalah, kecintaan Arka terhadap olahraga flag football. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya pernak-pernik flag football di kamar pemuda tersebut. Mulai dari poster, miniatur atlet flag football, duplikat jersey pemain, serta belasan piala dan penghargaan yang diletakan di lemari kaca sebelah ranjang.

"Ngapain repot-repot, sih." Arka menggaruk rambutnya yang tidak gatal menyaksikan anggota The Red Bulls yang hadir membesuk. Sejurus kemudian, cowok itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara untuk mengajak high five.

"Heleh, sok banget lo," cibir Enggar.

Arka menyengir. Lalu, bangkit dari posisi berbaringnya. Akan tetapi, di saat yang tak terduga, telapak tangan pemuda tersebut justru bergerak sendiri di luar kendali. Kilat riang sorot matanya kontan meredup.

"Ka? Lo kenapa nggak masuk?"

Dalam seperkian detik, cowok itu kembali tersenyum. Menyembunyikan perasaan sendu adalah cara terbaik agar orang-orang di sekitarnya tidak merasa khawatir. "Sakit karena kecapekan, mungkin."

Malfay terlihat sangsi. Menyadari ekspresi seniornya yang berubah, ia pun mendekat ke sisi ranjang. "Really? Are you okay? "

Suasana canggung tercipta ketika Arka tidak mampu menjawab pertanyaan dari Malfay. Semua anggota The Red Bulls pun memilih bungkam.

"Dimakan dulu, yuk."

Suara Ibu Arka memecah keheningan. Seluruh pasang mata sontak menatap wanita paruh baya tersebut yang sedang membawa senampan camilan ringan serta waterjug berisi es sirup.

Tidak ada ceritanya anggota The Red Bulls jaim-jaim saat mendapat makanan gratis. Lagi-lagi, kehebohan itu menyeruak. Mereka berbondong-bondong menyambar nampan dari Ibu Arka setelah mengucapkan terima kasih.

Malfay belum juga beranjak. Ia mengerling ke Arka yang ingin bergabung bersama teman-temannya. Akan tetapi, gerakan cowok itu terhalang karena kedua kakinya yang tampak tidak bisa diajak berkompromi.

Lelah mencoba, akhirnya ia menyerah juga. Wajahnya berubah getir. Sorot matanya menyiratkan kebencian luar biasa ketika menatap kakinya di bawah selimut. Malfay yang menangkap situasi itu, segera mendekat sisi ranjang.

"Kaki Kakak kenapa?"

"Nggak papa. Abis kepleset tadi di kamar mandi. Mangkannya susah jalan."

"Serius?" tanyanya, disergap keraguan.

Sebagai tanggapan, Arka menjawab singkat. "Iya."

Tapi, Malfay tidak sebodoh itu untuk percaya. Ia yakin, ada hal yang berusaha Sang Quarterback itu sembunyikan.

🏈

Tap ... Tap ... Trap!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang