37. Terakhir

256 37 4
                                    

Elina berlari sekencang-kencangnya disusul Mario setelah menerima panggilan suara dari Elvano. Perasaannya sekarang bercampur aduk. Definisi marah ayahnya itu sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Ia jarang sekali marah, jadi jika sekalinya marah akan benar-benar mengerikan. Sulit untuk dibayangkan.

Dengan napas yang masih tersengal-sengal, Elina berhenti melangkah. Dari sini ia sudah bisa melihat ayahnya yang sedang berbicara pada Kakaknya. Sepertinya sedang dimarahi. Ia ingin menghampirinya namun, ia takut. Tiba-tiba dirasakannya seseorang menyentuh bahunya. Refleks Elina menoleh pada Mario.

"Gue temenin, gak usah takut."

Elina hanya mengangguk pelan. Dengan ragu, ia melangkahkan kakinya mendekati pria itu. Hanya beberapa langkah hingga akhirnya Elina nerdiri tepat dibelakang ayahnya. Kakinya mulai gemetar.

"P-pa," ujar Elina gugup.

Pria berumur itu sontak berbalik, mengubah fokusnya dari Elvano pada Elina. Pria itu terlihat menghela napasnya kasar. Ia menatap dalam kedua netra gadis itu kemudian membuang pandangannya ke segala arah sambil berkacak pinggang.

"Kamu gak kenapa-napa kan? Apa yang mereka lakuin sama kamu? Kenapa bisa kayak gini?"

Tentu saja itu jawaban yang Elina mau. Namun setelah dipikir-pikir lagi dan melihat tingkah ayahnya yang seperti itu, rasanya tidak mungkin jika kalimat yang akan dilontarkannya seperti itu. Itu hanya akan menjadi angan Elina semata.

"Papa kecewa sama kamu, Na." Itu yang sebenarnya diucapkan. Mendengarnya, Elina langsung menunduk. "Kamu udah janji sama Papa bakal baik-baik aja selama di Jakarta, tapi apa?" sambung pria itu lagi membuat Elina benar-benar ciut.

"Ini semua salah Vano, Pa. Jangan salahin Elina," kata Vano menyela.

"Kamu emang salah, gak usah sok-sok'an ngebelain!"

"P-pa, udah. Ini rumah sakit," kata Elina mencoba melerai.

Mendengar itu, Edwin malah menatap putrinya dengan tajam. Pria itu kembali menatap kedua anaknya secara bergantian. Kemudian ia membuang napasnya kasar sambil memijit pangkal hidungnya. Rasanya kepalanya seperti akan meledak.

"Ini baru seminggu Papa tinggal, tapi yang satu udah ngancurin mobil, yang satu lagi diculik. Abis ini apa lagi?"

Kedua orang yang disalahkan itu hanya bisa menunduk. Mereka terlalu takut untuk menatap netra tersebut lebih lama. Sedangkan pria berumur itu hanya bisa menghela napas kasarnya. Ia bingung harus mengendalikan emosinya dengan cara apa.

"Terserah kamu mau kayak gimana, Vano. Mulai sekarang Papa lepas tangan, Papa udah gak mau ngurus kamu lagi. Urus diri kamu sendiri," ujarnya lagi.

Elvano masih menunduk, ia tidak tahu harus merespon seperti apa. Yang ia tahu itu bukanlah suatu hal yang baik. Pernyataan itu membuat Elina dengan cepat mengangkat kepala dan membelangakkan matanya. Jika kakaknya mendapatkan hukuman seperti itu, ia mungkin akan mendapatkan sesuatu yang sama atau bahkan lebih buruk.

"Dan kamu Elina, gak ada penolakan lagi. Mulai besok kamu tinggal di Melbourne sama Papa."

"P-pa, tapi-"

"Papa bilang gak ada penolakan!"

"Aku gak bakal nolak, Pa. Tapi tolong jangan besok," kata gadis itu memohon. Matanya mulai berkaca-kaca kembali.

"Terus kapan? Tahun depan? Atau seminggu sebelum tugas Papa di sana selesai?" ujarnya datar. Semakin datar nada bicara maka ia semakin marah tandanya.

"Aku gak bakal nolak lagi. Aku cuma mau nunggu sampe Daniel bangun, Pa, udah. Abis itu aku langsung ikut Papa," katanya pasrah. Tidak ada cara lain.

[✔] AbstrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang