34. Awal Permasalahan

163 36 11
                                    

Cewek berambut panjang kecokelatan itu memeluk erat laki-laki yang selalu bersamanya lebih dari enam belas tahun lamanya. Rasanya tidak rela untuk membiarkan pria itu berada jauh darinya. Tapi mau bagaimana lagi.

Kenapa hidupnya selalu saja seperti ini? Kenapa ia tidak bisa hidup dengan keluarganya yang lengkap? Kedua orangtuanya bercerai dan ibunya memutuskan untuk tinggal di luar negeri bersama suami barunya. Kakak yang selalu menjaganya pergi untuk mengeyam pendidikan selama bertahun-tahun. Dan disaat ia kembali, ayahnya yang harus gantian pergi ke Australia untuk urusan pekerjaan. Ia hanya ingin hidup dengan keluarga kecil yang lengkap seperti teman-teman sebayanya.

"Harus banget sekarang ya, Pa?" tanya cewek itu dibalik dada ayahnya. Ia masih enggan untuk melepas pelukannya.

"Papa juga gak mau jauh-jauh dari kamu sebenernya," ujarnya sambil mengelus rambut Elina.

Elina melepas pelukannya kemudian berkata, "ya udah, kalo gitu gak usah."

"Kamu aja yang ikut Papa," jawabnya.

"Pa...." rengek Elina. Edwin terkekeh melihat putrinya mulai merajuk.

"Kalo ini bukan urusan yang bener-bener penting Papa juga gak bakal mau, sayang."

"Berapa lama?"

Pria itu tampak sedikit berpikir, "mungkin sekitar tiga sampe empat tahun."

"Lama banget sih. Gak bisa cuma seminggu aja?"

Edwin tertawa miris. Ia menangkup kedua pipi anak perempuannya dan sedikit menurunkan tubuhnya. Ditatapnya kedua retina itu lekat-lekat. Perasaannya bercampur aduk, sulit untuk dijelaskan.

"Papa bakal usahain buat sering-sering kesini, nengokin kamu sama Vano." Kemudian ia meletakkan tangannya diatas bahu Elina. "Tepatin janji kamu buat jaga diri dan bakal baik-baik aja selama Papa di sana. Jangan ingkar," sambungnya lagi, mengingatkan.

"Papa juga. Papa harus janji buat selalu baik-baik aja. Jaga kesehatan. Gak perlu terlalu sibuk sama perkerjaan karena Papa bukan robot, Papa juga perlu istirahat."

"Iya, sayang. Papa janji," jawabnya. Kemudian ia mengubah fokus pandangannya pada cowok yang berdiri tepat di sebelah Elina. "Papa serahin semua tanggung jawabnya ke kamu. Jangan macem-macem, jagain adik kamu," sambungnya lagi mengingatkan.

"Siap, Pa. Tapi.....transferan tetep jalan kan?" tanya Elvano sambil terkekeh.

"Lagi kayak gini masih sempet-sempetnya nanyain duit," ujar Elina kesal.

"Cuma jaga-jaga supaya kejadian waktu gue di Melbourne dulu gak terjadi lagi. Ada sedikit traumatik tersendiri, emang lo mau gak makan?"

"Ya tapi kan timingnya gak pas," kata Elina.

"Ini kenapa malah berantem sih?" Edwin hanya bisa mengelus dada saat melihat kedua tingkah anaknya yang semakin tidak akur seiring berjalannya waktu. "Nanti bakal Papa transfer, uang kamu yang belum dikirim juga sekalian. Terserah kamu mau beliin apa, beli motor baru juga boleh. Terserah kamu pokoknya mau diapain," sambungnya lagi final.

"Serius?" tanya Elvano dengan rasa senang yang masih tertahan.

"Iya. Tapi jangan dipake buat yang enggak-enggak."

"Sip."

"Jagain Elina juga, pastiin dia baik-baik aja setiap harinya."

"Mau nganter jemput tiap hari sampe nemenin kemana-mana kayak bodyguard juga oke-oke aja kalo boleh beli motor baru. Iya gak, Na?"

"Tau ah," kesal Elina. Cewek itu memandang ke sembarang arah sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Jangan cemberut dong, sayang."

[✔] AbstrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang