11. Bipolar

244 50 3
                                    

Seperti biasanya, Elina datang ke sekolah saat sekoah masih agak sepi. Belum banyak siswa ataupun siswi yang datang karena bel masuk berbunyi dua puluh menit lagi. Waktu masih panjang.

Elina turun dari mobil sedan berwarna hitam milik ayahnya. Tangannya melambai-lambai pada orang yang sedang menyetir mobil itu. Senyum yang menyungging di wajahnya belum luntur juga, padahal mobil itu sudah bergerak cukup jauh. Elina menurunkan tangannya. Ia menghela napas panjang sejenak. Dimulai lagi rutinitasnya di Senin pagi yang cerah ini.

Cewek itu berjalan memasuki gerbang yang masih terbuka lebar. Elina tersenyum manis pada seorang petugas keamanan sekolahnya yang sedang duduk di dalam bilik posnya sambil meminum secangkir kopi hitam. Ia melanjutkan langkahnya memasuki gedung sekolah. Sesekali ia kembali menyapa orang-orang yang menyapanya terlebih dahulu atau paling tidak tersenyum. Cewek ini sangat suka tersenyum dan perlu kalian ketahui, senyumnya sangat manis.

"Elina!!"

Elina menoleh ke belakang saat mendengar suara seseorang yang memanggilnya. Ia bisa melihat seorang cowok yang tengah berlari menghampirinya. Elina berbalik badan dan berdiam diri ditempatnya sambil menunggu cowok yang baru saja memanggilnya. Sesampainya cowok itu dihadapan Elina, ia langsung memegangi kedua lututnya sambil mengatur napasnya yang pendek akibat kelelahan.

"Ngapain sih lari-lari?" tanya Elina sambil tersenum menahan tawa.

"Lo...dari tadi...gue.."

"Napas dulu yang bener," kata Elina mengingatkan.

Mendengar itu, kini cowok dihadapannya mulai berdiri tegak. Ia menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Dua kali mengulang itu, ternyata cukup untuk memulihkan kembali napasnya menjadi normal.

"Dari tadi lo gue panggil. Gak tau nih emang gak denger apa pura-pura," kata cowok itu bercanda sambil sedikit terkekeh.

"Hah? Masa? Dari kapan?"

"Dari pas di gerbang depan, gue panggil-panggil tapi lo-nya gak nengok sama sekali."

"Lo manggil gue dari pas di gerbang depan. Trus lo ngejar gue, tapi kenapa baru nyampe disini?" tanya Elina heran.

"Gue naroh motor dulu sebentar. Terus lo udah sampe sini, ya udah gue kejar. Lo jalan cepet banget sih?"

Niat banget, sampe mau ngejar gue segala. Boleh baper tidak yak? Elina membatin tanpa sadar kini dirinya sedang tersenyum.

"Oh gitu. Sori ya, Ren, udah bikin lo capek lari-lari gini pagi-pagi,"

"Sans,"

"Btw, kenapa panggil gue, sampe lari-lari gitu?"

"Gak pa-pa," jawab Rendy santai. Jelas saja Elina bingung.

Sepersekian detik kemudian, Rendy langsung menggenggam telapak tangan kiri Elina dan berjalan menyusuri koridor yang masih cukup sepi. Elina kaget, sangat terlihat dari wajahnya kalau dia benar-benar kaget. Bagaimana tidak? Orang yang ia suka dan dekat darinya hampir setahun akhirnya menggandengnya di sekolah.

Elina masih diam, Rendy pun begitu. Ekspresi kaget Elina perlahan luntur dan berubah menjadi sedikit bahagia, terlihat dari senyum Elina yang mengembang sempurna. Tak perlu ditanya, Rendy justru sudah tersenyum dari sebelum menggandeng Elina.

Walau diam, bukan berarti pikiran Elina kosong hingga tak melihat keadaan disekitarnya. Elina yakin, baru saja mereka melewati ruang kelas XI-IPS 4, kelas Rendy. Elina melirik Rendy yang pandangannya hanya terfokus lurus ke depan.

"Ren?"

"Hm?" Rendy menoleh pada Elina tanpa menghentikan langkah kakinya.

"Kelas lo udah kelewat," kata Elina memberi informasi.

[✔] AbstrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang