27. Bertengkar

156 36 14
                                    

"Kenapa Pa?" tanya Daniel padahal ia sudah tahu pasti apa yang akan menjadi topik perbincangan mereka.

Ayahnya sendiri menatapnya lamat-lamat sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Sudah pasti ia sedang marah. Daniel hanya balas menatap ayahnya bingung sekaligus ragu. Sudah cukup lama mereka tidak saling berbicara meskipun berada di bawah atap yang sama. Sekalinya berbicara kembali, apa harus membahas tentang hal seperti ini?

"Maksud kamu apa?"

Nada bicara pria itu sangat datar begitupun dengan ekspresi wajahnya. Namun, bukan berarti itu mengurangi kesan menakutkan dari dalam dirinya. Dahi Daniel mulai berkerut. Ia takut salah bicara. Orang dihadapannya akan tetap menjadi orang yang paling ia takuti melebihi ketakutannya terhadap mimpi buruknya.

"Maksudnya gimana, Pa?"

"Kenapa kamu ajak mereka ke rumah?"

Sedikit demi sedikit nada bicaranya mulai naik. Daniel tidak akan bisa berbohong. Saat ia berkata jujur saja akan selalu salah di mata ayahnya sendiri, bagaimana jika ia berbohong?

"Daniel gak suka di rumah sendirian," jawab Daniel seadanya. Memang itu kenyataannya.

"Papa gak masalah kalo kamu ngajak temen buat main ke rumah. Tapi cari teman yang baik-baik, jangan kayak mereka."

"Mereka gak sama kayak apa yang Papa pikirin selama ini," jawab Daniel cukup lantang.

Entah keberanian itu datang dari mana. Ia hanya ingin ayahnya tidak selalu menyalahkannya. Ia akar terus membela dirinya sampai akhirnya ayahnya percaya bahwa bukan dia yang bersalah. Hingga akhirnya ia sadar jika ia selalu menyalahkan orang yang salah.

"Yang bikin kamu kena masalah emang siapa? Mereka kan?" Nada bicara pria itu kian meninggi. Perlahan ia mulai tersulut oleh emosi.

"Pa-"

"Belum kapok kamu hampir di keluarin dari sekolah?" Bahkan pria itu bisa dengan seenaknya memotong kalimat Daniel yang ingin memberikan penjelasan.

"Daniel udah gede. Daniel tau mana yang baik mana yang buruk buat diri Daniel," kata remaja laki-laki itu terus berusaha membela diri.

"Kalo kamu tau mana yang baik mana yang buruk, kamu gak mungkin sampe kena masalah kayak gitu. Jangan bikin Papa terus-terusan malu sama kelakuan kamu, Niel."

"Papa gak pernah ngasih Daniel kesempatan buat ngejelasin semuanya."

"Karena emang gak ada yang perlu kamu jelasin lagi. Semuanya udah jelas,"

"Papa lebih percaya omongan Nathan dibandingkan anak sendiri? Sekarang Daniel jadi gak yakin. Kayaknya anak Papa sekarang Nathan bukan Daniel. Karena Papa gak pernah percaya sama Daniel sekarang. Papa lebih percaya orang lain. Papa bukan lagi orang yang Daniel kenal."

Dengan emosi yang kian memuncak, Daniel memutuskan untuk keluar dari ruangan itu. Ia tidak peduli jika ayahnya akan melalukan sesuatu untuk menghukumnya. Setidaknya sedikit dari perasaan lega karena bisa menyampaikan apa yang sulit ia katakan pada orang yang ia tuju. Ia dengan cepat berjalan menuruni setiap anak tangga. Saat setengah perjalanan, ia berpapasan dengan ibunya.

"Niel, Papa di mana?" tanya wanita tersebut.

"Papa Daniel udah mati kayaknya," ujarnya dengan enteng.

[✔] AbstrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang