30. Siapa Yang Jahat?

148 38 1
                                    

Elina merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Cewek itu sibuk melamun sambil menatap langit-langit kamarnya. Ia masih belum lelah untuk memikirkan hal yang selalu berputar di otaknya. Rasa penasarannya akan masa lalu Daniel masih belum hilang. Mimpi yang Daniel ceritakan belum cukup bagi Elina. Ia tidak sepenuhnya mempercayai Daniel.

"Na, turun cepet!!"

Suara lantang cowok dari lantai bawah menusuk pendengaran Elina. Ia langsung memandang ke arah pintu sambil mendengus. Kelakuan kakak laki-lakinya memang seperti itu.

"Ngapain?!" balas Elina juga berteriak.

"Dipanggil papa!!"

"Entar, ah!"

Tidak terdengar tanggapan dailri lawan bicaranya, Elina memandang langit-langit kamarnya dan kembali melamun. Ia sedang malas untuk keluar kamar. Mood hari ini sedang tidak bersahabat.

Selang beberapa detik kemudian, seseorang membuka pintu kamar Elina tanpa mengetuknya. Elvano hanya membuka sedikit pintu kamar bahkan tangan kanannya masih memegangi knop pintu tersebut. Cowok itu hanya muncul di ambang pintu.

"Woy!" Elina refleks menoleh ke arah pintu. "Turun cepetan," sambung cowok itu lagi.

"Ngapain sih?"

"Gue udah bantuin bilang ke Papa,"

"Ya, trus?"

"Papa mau ngomong tuh. Cepetan, mumpung lagi bisa diajak negosiasi,"

"Serius?"

"Iya, cepetan turun!"

"Iya-iya, sabar."

Elina langsung beranjak dari ranjang kemudian berlarui kecil melewati Elvano begitu saja. Langkah kakinya menuruni tangga dengan terburu-buru saat melihat ayahnya sedang duduk di sofa dengan pakaian yang rapi.

"Papa mau kemana?" tanya cewek itu langsung saat sudah berada beberapa langkah di belakang sofa.

Edwin menoleh, melihat putrinya yang sekarang sudah tumbuh menjadi dewasa. Perasaan pria itu terasa campur aduk saat ini. Ia tidak ingin berpisah dengan putrinya barang seharipun. Ia tidak begitu yakin akan keputusan apa yang harus ia ambil.

"Ada rapat mendadak,"

"Kenapa gak ke kantor?"

"Mau ngomong dulu sama kamu," katanya sambil tersenyum simpul. "Duduk dulu sini, sebentar," sambung pria itu lagi.

"Kenapa, Pa?" tanya cewek itu saat sudah duduk.

"Kamu bener-bener gak mau ikut ke Melbourne?" tanyanya langsung pada intinya.

Elina menggeleng dengan sangat yakin, "gak mau."

"Denger, Papa bukan mau maksa kamu sayang, tapi Papa khawatir kalo kamu tinggal sendirian di sini. Siapa yang jaga kamu?" ujar pria itu penuh dengan rasa cemas dan kekhawatiran.

"Tapi aku udah gede, Pa. Aku bukan anak kecil lagi yang harus dijagain tiap hari. Aku bisa jaga diri aku sendiri, Papa gak perlu khawatir."

"Papa tahu kalo kamu udah gede sekarang, tapi bagi Papa kamu bakal terus jadi putri kecil."

Edwin menatap kedua bola mata Elina lekat-lekat. Benar, putri kecilnya sudah beranjak dewasa sekarang. Pria itu menunduk kemudian menghela napasnya pelan.

"Kamu itu perempuan satu-satunya yang Papa punya," katanya masih menunduk. Ia tidak ingin putrinya melihat kesedihan yang ia rasakan saat ini. Ia kembali menghela napas kemudian mengangkat kepalanya. "Papa gak bakal pernah bisa buat gak khawatir sama kamu. Papa harap kamu ngerti," pria itu menyambung kalimatnya lagi.

[✔] AbstrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang