9. Khawatir?

3.4K 347 0
                                    

Laki-laki tiang itu menggendong dan mengantarku dengan selamat sampai rumah. Tiga laki-laki kekar yang mengejar pun tidak lagi ada. Mungkin mereka sudah pergi jauh dari daerah sini.

"Kau tidak ingin masuk dulu?" Aku menawarkan untuk mampir sebentar, barangkali dia ingin minum atau makan.

Dia tersenyum yang jika dilihat-lihat yaa----manis, sangat manis malah. Gula pun sepertinya kalah manisnya dengan senyumnya itu.

Ah, kenapa dia begitu tampan?

Ditambah dengan jas yang terbalut ditubuhnya, jadi semakin sempurna dan gagah.

"Tidak, ini sudah malam." tolaknya.

"Setelah ini, kau langsung pulang?"

Dia menggeleng "tidak, aku tidak ingin mati malam ini juga." tuturnya.

"Maksudmu?" tanyaku bingung.

"Jika aku pulang kerumah malam ini, sama saja aku menyerahkan nyawaku."

Ah, sekarang aku mengerti. Dia memang sedang dicari-cari karena telah kabur dari pertemuan yang tadi diceritakan olehnya. Benar, jika dia pulang, kemungkinan Appanya akan menghabiskannya.

Tapi, sebentar.

Jika dia tidak pulang, lalu dia akan tidur dimana?

"Lalu kau tidur dimana?"

"Ditempat biasa, tidak jauh dari kedai kopi tempat kerjamu dulu."

Aku belum paham yang dia bicarakan, tempat apa yang dia maksud?

"Tempat biasa?"

"Hmm, tempat berkumpulku bersama teman-temanku, itu lebih nyaman dibandingkan rumahku."

Aku mengangguk paham.

"Amankah? Pesuruh Appamu tak tahu?"

Dia menggeleng "Lebih aman dari pada rumahku."

Aku hanya tersenyum, tidak ingin menanyakannya lebih dalam lagi, karena ini sudah malam, dan sangat berbahaya bagi dirinya.

"Pulanglah!"

"Kau mengusirku?"

"Tidak, aku tidak berniat untuk mengusirmu, ini sudah malam, aku takut terjadi apa-apa denganmu."

Dia tersenyum "kau mengkhawatirkan ku?" tanyanya.

Mendengar pertanyaan itu, aku pun gelagap karena malu, "eoh, b-bukan, m-ma-maksudku a--"

"Sudahlah, masuk sana! aku tidak ingin berlama-lama melihat wajah merahmu itu yang sangat lucu karena malu!"

"Sial, dia melihatnya?"

Aku menunduk, lalu beranjak pergi menjauh darinya.

Tapi

Tunggu

Aku belum mengetahui namanya. Selama mengenalnya aku belum mengetahui namanya. Karena selama ini aku memanggilnya dengan sebutan laki-laki tiang saja.

"Tunggu." cegahku agar dia berhenti menjauh.

"Kenapa?"

"N-namamu siapa? Aku belum mengetahuinya."

Dia mengangkat alis tak percaya "eoh, benarkah?"

Aku mengangguk, "hmm." lalu dia menghampiriku lagi.

"Berikan ponselmu!"

Aku mengerutkan dahi karena bingung "ponselku?" tanyaku memastikan.

"Iya, berikan padaku."

Aku langsung merogoh saku mantelku, lalu memberikan ponsel dengan warna gold itu.

"Nih," dia memberikan kembali ponselku "namaku beserta nomorku sudah tertera dilayar ponselmu, kau bisa menghubungiku kapan saja."

Aku tersenyum, lalu mengeceknya "Kim Mingyu?" tanyaku setelah meng-eja nama yang sudah tertera dilayar ponselku.

"Hmm, itu namaku, baguskan? Orangnya pun tak kalah bagus kualitasnya." Dia memamerkan gigi taringnya yang sangat putih itu.

Mendengar luluconnya, aku pun tertawa "Yak! Memang kau barang."

Dia pun tertawa juga, "masuklah! cuacanya semakin dingin." lalu merintahkanku untuk masuk rumah.

Aku pun menurutinya, namun sebelum tubuhku tenggelam karena pintu, aku sempat melambaikan tangan kepadanya. Dan dia pun membalasnya untuk melambaikan tangan ke arahku dengan iringan senyuman manis yang begitu candu untukku. Lalu setelahnya, pintu pun tertutup rapat dan menyisahkan jantungku yang berdetak tak karuan.

"Nanaya, ada apa dengan jantungmu?"

##########

Jangan lupa vote dan commentnya.

HAPPY ENDING (Kim Mingyu)✓✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang