"Lho, gak bisa gitu dong mbak. Dari dua hari yang lalu saya sudah berkerja menjadi pelayan di cafe ini." Inggrid berusaha menjaga nada suaranya agar tidak meninggi.
"Saya benar-benar minta maaf, Inggrid. Tapi memang itu peraturan disini, kami tidak memperkerjakan seorang pelajar." Cintya—pemilik cafe tempat Inggrid berkerja—berkata dengan hati-hati, bertujuan agar tidak menyulut emosi remaja di hadapannya."Kalau emang gitu, kenapa gak dari hari pertama mbak nolak saya, aja? Gak bisa gini dong mbak. please mbak, saya benar-benar lagi butuh uang."
"Saya mengerti, Inggrid. Saya benar-benar minta maaf, hari itu cafe kami memang membutuhkan pelayan. Jadi, dengan sangat terpaksa," Cintya mengangkat kedua bahunya.
Inggrid mengusap wajahnya kasar, sesaat kemudian ia melepas pin yang ada di baju sebelah kanannya dan meletakkannya diatas meja. Untungnya saat ini cafe sedang tidak ada pelanggan, jadi tak ada yang tahu percakapannya dengan pimilik cafe. Selain, para pelayan lain yang tengah menguping di balik pintu dapur. Mereka memang tidak berprofesional, dalam hal nguping-menguping.
"Baik mbak, saya akan keluar dari perkerjaan ini." Inggrid menundukkan kepalanya.
Tiba-tiba pandangannya pada sepatu kest yang ia kenakan, terhalang oleh sebuah amplop cokelat yang Cintya sodorkan. Inggrid mendongak, menatap mantan bosnya itu.
"Ini untuk kamu, tidak mungkin kan, saya tidak menggaji kamu selama tiga hari ini?" Cintya tersenyum saat Inggrid menerima apa yang ia berikan. "Sekali lagi saya minta maaf, Inggrid."
"Gak perlu minta maaf, mbak. Kalau begitu saya permisi."
Inggrid membalikkan badannya, ia mengambil tas sekolahnya yang ada di meja kasir dan segera berjalan keluar dari cafe.
Tak perlu ada acara perpisahan dengan para pekerja cafe lainnya, karena memang Inggrid tak pernah dekat dengan siapapun. Selain, gadis kecil berumur enam tahun yang selalu bisa membuatnya tersenyum. Lala namanya, gadis itu sama-sama anak panti asuhan An-nur. Tempat tinggalnya selama tujuh belas tahun ini.
Omong-omong tentang panti, ia jadi teringat ibu Rihana. Pemilik sekaligus pengasuh panti asuhan yang ia tempati. Apa ia harus memberitahunya tentang ia yang tak lagi berkerja?
Inggrid menyetop angkot yang lewat, masuk dan duduk di dekat pintu.
Semua sungguh memusingkan untuknya. Tunggakan sekolah yang banyak, juga dikeluarkan dari pekerjaan yang baru ia lakoni dua hari yang lalu. Apa yang harus Inggrid lakukan?
Inggrid menggelengkan kepalanya, ia memilih menatap rumah-rumah dan ruko-ruko yang terlewat dari pintu angkot.
***
pukul delapan malam, Inggrid baru turun dari ojek online di depan pekarangan panti.
Gadis itu tak langsung pulang setelah dari cafe tadi sore. Ia kembali ke sekolah untuk sekadar melihat anggota eskul PMR yang tengah berlatih untuk demo eskul besok pagi, hingga selesai sampai menjelang maghrib. Setelah itu ia pergi ke cafe dekat sekolah, ia telah menghabiskan dua gelas jus alpukat dan seporsi nasi goreng disana.
Setelah membayar ongkos, tak sengaja pandangan Inggrid terarah pada gadis berseragam SMP di warung seberang sana, tengah memberesi barang-barang seperti ingin menutup warung.
Inggrid menyebrang, ia berjalan menghampiri gadis itu.
"Lebih baik kamu pulang, terus ganti baju sono. Belajar, besok masih sekolah kan?"
Gadis itu terperanjat mendapati Inggrid yang tiba-tiba mengambil alih semua makanan ringan yang ada di tangannya.
"Eh, kak Inggrid. Gak papa kok kak, tanggung. Mendingan kakak yang ke panti, kakak pasti capek pulang dari cafe."
Inggrid terdiam mendengar ucapan gadis itu, kemudian menggeleng.
"Putri, kamu dengerkan yang kakak bilang? Kamu itu ganti seragam aja belum, masa iya kakak tega biarin kamu beresin ini. Udah sana pulang."
Gadis bernama Putri itu mengangguk patuh, ia segera keluar dari warung untuk kembali ke panti.
Inggrid segera memberesi warung agar segera ditutup.
Warung ini, adalah warung yang tidak terlalu kecil juga besar yang terletak di seberang jalan panti. Bersampingan dengan ruko yang menjual cat kiloan. Warung yang menjadi peninggalan dari almarhum suami ibu Rihana, selain panti yang ia tempati.
Ibu Rihana adalah seorang guru les private sekolah dasar yang penghasilannya tak seberapa. Dan warung ini banyak membantu beliau dan anak-anak panti untuk mencukupi kebutuhan. Termaksud Inggrid.
Almarhum suami ibu Rihana meninggal lima bulan yang lalu, dan itu membuat Inggrid merasa tak punya siapa-siapa lagi saat itu. Karena memang ia tidak terlalu dekat dengan ibu Rihana. Inggrid lebih dekat dengan suami beliau yang katanya, menemukan ia di bangku depan rumah tujuh belas tahun silam.
Hidupnya memang sangat menyedihkan. Hidup di panti asuhan yang artinya tanpa kasih Sayang orangtua kandungnya.
Teman-temannya bilang, sweet seventeen adalah waktu yang terindah untuk para remaja jaman sekarang. Mengejar impian, juga pencarian jati diri. Apa lagi, bagi mereka yang sudah sukses di masa mudanya pasti sangat menyenangkan. Bisa membeli apapun yang mereka inginkan dengan uang mereka sendiri, tentunya.
Bagi Inggrid, jangan pun mengejar mimpi. Bisa melanjutkan sekolah saja, sudah beruntung baginya. Walaupun, untuk bayaran sekolah ia masih harus membayarnya sendiri. Berbeda dengan mereka yang memiliki kedua orangtua yang menyayangi mereka. Bisa saja sih, jika Inggrid meminta bantuan pada ibu Rihana. Tetapi ia merasa sudah tak sepantasnya lagi merepotkan beliau. Inggrid berbeda dengan gadis tujuh belas tahun lainnya.
Selesai menutup warung, Inggrid tak langsung kembali ke panti. Ia mendongakkan kepalanya, memandang langit malam tanpa bintang.
Terkadang Inggrid merasa bosan dengan kehidupannya, hingga sebuah kalimat itu kembali muncul;
"Mengapa Engkau tidak pernah adil kepada ku?"
Dan setelahnya, selalu ada kenanaran yang timbul di hati. Entah, sebuah penyesalan atau bukan?
***
Terimakasih untuk kamu yang benar-benar membaca tulisan ini.
Salam hangat dari
Penulis[Setelah direvisi]
KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks
Teen FictionBahagia. Apa yang ada dipikiranmu ketika mendengar kata itu? Harta? Kekuasaan? Impian yang menjadi nyata? Atau, dapat bersama dengan dia yang kita idamkan? Bersyukur. Cukup satu kata bagiku. Ini bukan kisahku yang tentang kebahagiaan, bukan pula...