BAB 05

38 20 14
                                    

     Inggrid senang, karena nilai ulangan harian fisikanya mendapatkan nilai paling baik di kelasnya.

     Sebenarnya ia senang karena ia heran, padahal semalam ia tidak belajar sama sekali untuk persiapan ulangan harian fisika hari ini karena menemani anak-anak panti bercerita dan menonton flim di notebook ibu Rihana sampai jam dua dini hari.

     Saat ini jam istirahat pertama, Inggrid masih serius membaca buku yang sempat ia pinjam dari perpustakaan sekolah beberapa hari yang lalu. Tak ada niatan untuk ke kantin, lagi pula ia tak lapar. Menurutnya, sangat sayang jika uangnya ia belikan makanan di kantin sekolah yang terbilang mahal itu. Lebih baik ditabung untuk membayar tunggakkan sekolah.

     "BRAAK!"

     Sebuah kamus bahasa yang cukup besar jatuh diatas buku yang tengah Inggrid baca. Inggrid terperanjat, sesaat kemudian ia mendongak menatap seseorang yang sengaja melakukannya.

     "Apa salah gue sama lo, Clarissa?" Ucapan Inggrid sangat datar.

     "Pake nanya lagi! Jelas lo salah, karena dapat nilai paling gede disini dan lagi-lagi lo yang dipuji sama guru. Gak usah cari muka, deh!" Clarissa berkata dengan suara yang tinggi sambil bercak pinggang.

     Inggrid tersenyum miring. "Kalau emang lo mampu ngalahin nilai gue. Lakuin aja kali. Gak usah kayak gini. Ganggu aja." Inggrid berkata dengan tenangnya dan kembali membaca bukunya setelah menyingkirkan kamus Clarissa.

     Sedangkan Clarissa, ia sangat geram dengan apa yang Inggrid katakan. Setelah menghentakan kaki, Clarissa pergi dari hadapan Inggrid tanpa lupa membawa kembali kamusnya.

     Inggrid hanya mengangkat bahu acuh. Jujur, ia sangat sangat bingung dengan sikap tak suka Clarissa yang ditunjukkan secara terang-terangan kepadanya sejak awal semester ini. Gadis gila itu—menurut Inggrid—selalu menganggap dirinya sebagai saingan. Padahal Clarissa tak perlu repot-repot dalam hal itu, karena memang bukan Clarissa yang ia anggap sebagai saingannya. Tapi, Haris Ramadhan.

     Ya, ketua kelasnya itu selalu berada satu tingkat di bawahnya, terkadang juga berada satu tingkat diatasnya. Seperti semester kemarin. Inggrid juga bingung, mengapa ia dan cowok itu selalu satu kelas sejak kelas sepuluh. Inggrid berharap, semoga di kelas sebelas ini ia bisa mengalahkan nilai si ketua kelasnya yang sangat menyebalkan itu.

     Merasa bosan dengan kegiatannya, Inggrid memilih menutup buku yang tengah ia baca dan menaruhnya di kolong meja.

     Kemudian matanya memperhatikan ruangan kelasnya yang sangat sepi, hanya ada dirinya disana. Eh, tunggu. Ada satu orang lagi, yaitu Boby si tukang tidur.

     Inggrid menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan Boby, kapanpun cowok itu pasti tidur. Membiarkan Boby, kini Inggrid tengah menatap tempat duduk seseorang yang selalu berusaha mendekatinya. Erisca.

     Sebenarnya gadis itu selalu bersikap baik kepada siapapun, termaksud dirinya. Namun ia bingung, mengapa Erisca selalu berkata bahwa sangat ingin berteman dengan dirinya yang selalu bersikap acuh. Padahal sangat banyak yang ingin berteman dengan Erisca, termaksud perempuan gila tadi. Ya, Clarissa.

     Ini juga menjadi salah satu alasan Clarissa tak menyukai dirinya. Namun Inggrid tak pernah memusingkan hal itu.

     Berebutan teman? Lucu sekali, pikir Inggrid.

***


     Lagi-lagi jam kosong terjadi. Inggrid kesal dan sangat bosan. Membaca buku. Lagi. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Mengobrol dengan yang lainnya? Itu tidak mungkin terjadi, mengingat dirinya tak pernah dekat dengan siapapun di sekolahnya.

     Suara grasak grusuk dari meja sebelah mampu mengalihkan perhatiannya dari buku yang tengah ia baca. Nampak Erisca yang sibuk mengeluarkan buku-buku dari dalam tasnya, seperti tengah mencari sesuatu. Sesaat kemudian gadis itu terlihat menghembuskan napas gusar dan kembali duduk di kursinya dengan lemas. Inggrid penasaran, namun ia tak dapat berbuat apa-apa walaupun untuk sekadar bertanya. Hingga Clarissa menghampiri Erisca yang seperti ingin menangis.

     Inggrid dapat melihat mereka berdua berbicara sesuatu yang nampak serius, namun Inggrid tak dapat mendengarnya karena suasana kelas yang gaduh. Inggrid masih memperhatikan, sampai Clarissa berteriak memanggil Haris dan berbicara pada cowok itu.

     "Maaf teman-teman. Tolong tinggalkan kegiatan kalian sebentar saja." Haris menginterupsi dengan suara yang cukup keras, membuat kelas kembali tenang.

     "Jadi gini, teman kita Erisca baru aja kehilangan hpnya. Sebelumnya saya nohon maaf nih, saya mau periksa tas kalian semua. Ini hanya untuk memastikan saja."

     "Kenapa gak dimiscall aja, sih?" Salah satu siswi bertanya.

     "Enggak bisa, hp aku dimatikan daya."

     "Lagian Ris, gak mungkin diantara kita yang ngambil hpnya Erisca. Mana tega, sih?" Kini giliran Boby, si tukang tidur yang menyeletuk.

     "Bisa aja dong. Otak jahat orang, kan mana ada yang tau." Bukan Haris yang menjawab, melainkan Clarissa. "Udah deh Ris, mendingan periksain aja satu-satu. Gak ada salahnya, kan?"

     Haris diam sebentar, kemudian mengangguk. "Kalian berdua bantuin saya, ya." Kompak Erisca dan Clarissa mengangguk.

     Mereka bertiga langsung memeriksa setiap tas yang ada di kelas, termaksud tas mereka masing-masing.

     Haris menghampiri meja Inggrid, gadis itu segera memberikannya pada Haris dan cowok itu mulai memeriksa tasnya. Inggrid hanya diam memperhatikan. Namun, mendadak perasaannya tak enak. Apa yang akan terjadi? Oh, ia harap jangan.

     "Ini, hp lo?" Haris mengeluarkan handphone dengan logo apel separuh itu dan menyodorkannya pada Inggrid.

     Inggrid terkejut dan segera menggeleng kuat. Ia benar-benar tak tahu mengapa handphone itu bisa..

     "Erisca! Sini, liat deh. Itu hp lo, kan?" Suara teriakan Clarissa membuat Inggrid dan lainnya menengok ke arahnya.

     "Hah?! Mana hp aku?" Segera Clarissa menunjuk handphone yang Haris pegang. Sontak semua melihat apa yang Clarissa tunjuk.

     Erisca segera menghampiri Haris. "Iya, itu hp aku, kamu temuin dimana?"

     "Saya temuin ini... di tas Inggrid."

     Entah mengapa, rasanya Haris juga tidak percaya apa yang tengah terjadi saat ini. Ia memang tahu apa yang Inggrid kerjakan di luaran sana. Tapi, rasanya tak mungkin Inggrid melakukan perbuatan yang tak tega ini.

      Erisca mengambil handphonenya, menatap Inggrid tak percaya, kemudian pergi meninggalkan kelas. Clarissa mengejarnya dan Inggrid hanya diam melihatnya.

     "Kamu yang ngambil hp Erisca?"

     "Percaya sama gue, Ris. Gue gak ngambil hpnya Erisca."

     "Tapi buktinya? Maaf Inggrid, saya harus melaporkan ini, saya tidak menyalahkan siapapun, saya hanya menjalankan tugas saya sebagai ketua kelas. Permisi."

     Awalnya Inggrid hanya diam tak berniat mengejar, bahkan suara-suara menghina tak ia hiraukan. Namun, seseorang menepuk bahunya dari belakang. Inggrid menengok.

***
Panjang ya? Ehehe..

Terimakasih untuk kamu yang benar-benar membaca tulisan ini.

Salam hangat dari
Penulis

[Setelah direvisi] 

ThanksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang