BAB 08

21 13 5
                                    

     Detak suara jam diding mendominasi kelas, terkadang hanya terdengar ketukan-ketukan pelan pulpen diatas meja, atau suara krasak-krusuk kertas soal yang di bulak-balik. Murid di kelas XI IPA 1 tak mampu bersuara barang sedikitpun, hanya lirikan-lirikan mata yang kadang dilakukan. Sejak awal pelajaran dimulai bu Anggun terus saja berjalan keliling kelas. Matanya yang sipit tetap awas pada murid yang sibuk mengerjakan soal-soal ulangan harian fisika. Bukan apa-apa, walaupun kelas itu terbilang kelasnya para eisten tetapi tetap saja, mencontek selalu menjadi bahan untuk berjaga-jaga. Takut-takut lupa rumus.

     Sedangkan Inggrid, gadis itu mampu mengerjakan soal dengan tenang. Begitupun dengan Haris. Memang jika dilihat dari luar mereka seakan tak ada apa-apa, tetapi faktanya bendera tarung telah dikibarkan sejak pelajaran dimulai. Lebih tepatnya sejak Haris mengajaknya bicara kemarin.

      Sesekali Inggrid menengok ke arah Haris yang terus sibuk dengan kertas diatas meja cowok itu, didalam hati Inggrid berharap bahwa kali ini ia dapat menyelesaikan dan mengumpulkan jawabannya lebih dulu.

     Inggrid kembali pada soal yang belum selesai di kerjakannya, hingga akhirnya ia dapat bernapas lega saat telah menyelesaikan semuanya. Ia menaruh pulpen dan kembali mengecek soalnya, takut-takut ada yang terlewat, setelah memastikan semua telah terisi Inggrid bangun untuk segera mengumpulkan soalnya. Sebelumnya ia melirik sebentar pada Haris yang ternyata masih sibuk mengerjakan soal dan ini merupakan kesempatan Inggrid untuk dapat mengumpulkan terlebih dahulu.

     Namun sialnya, baru saja Inggrid ingin meletakan kertasnya ternyata seseorang telah mendahuluinya dalam waktu seperkian detik.

Niat amat nih orang.

     Gadis itu menengok kesamping dan menatap malas orang yang ada di sampingnya.

     "Saya yang lebih dulu menaruh kertasnya, jadi saya yang dapat dikatakan sebagai murid pertama yang mengumpulkan soal." Haris berkata dengan wajah datar langganannya.

     "Enak aja lo. Gue tadi liat lo masih ngerjain soal. Gue yang duluan kesini, berarti gue yang lebih dulu."

     "Tapi nyatanya kertas kamu masih kamu pegang." Mata Haris melirik pada kertas yang Inggrid pegang.

     Inggrid baru menyadarinya, segera ia menaruh kertasnya tanpa lupa menukar kertas Haris yang menjadi berada diatas kertasnya.

     "Maaf, Inggrid Anya, tidak bisa seperti itu." Haris kembali menukarnya.

     "Apaan si lo!"

     "Inggrid, kenapa kamu berisik sekali. Kalau memang sudah selesai, kumpulkan dan balik ke tempat. Tidak usah menganggu yang lainnya." Bu Anggun berkata sambil menghampiri keduanya. "Kamu juga Haris, kembali ke tempat duduk."

     Keduanya mengangguk dan segera kembali ke tempat duduk masing-masing.

* * *

     Sejak lima menit yang lalu bel tanda pulang sekolah telah berbunyi, namun Inggrid memilih tetap berdiri di koridor depan kelasnya, memperhatikan sesuatu apapun yang mampu menyita perhatian matanya. Sekolah masih terlihat ramai dengan para anggota OSIS yang memang sering kumpul setelah bubaran sekolah, anak - anak yang mengikuti beberapa eskul yang latihan di hari ini, juga anggota ROHIS—tunggu, bukankah anak ROHIS biasanya berkumpul setiap hari jumat ba'da shalat jumat? Sedangkan ini hari rabu, sangat jarang sekali. Tapi sebenarnya bukan itu pertanyaan yang ada di kepalanya melainkah: adakah ketua kelasnya disana?

     Inggrid menggelengkan kepalanya. "Duh, ngapain juga gue mikirin cowok gak jelas itu."

     Inggrid melihat jam tangannya, setelah itu segera beranjak berniat untuk meninggalkan sekolah. Karena jalan menuju gerbang utama itu melewati ruang ROHIS alhasil membuat Inggrid tambah penasaran dan menghentikan jalannya beberapa meter di depan ruangan. Gadis itu menengok-kebetulan sekali pintunya tidak di tutup. Inggrid mengernyit heran saat melihat Haris berdiri di depan anggota lainnya dengan tangan yang diangkat didepan dada seperti orang yang tengah memimpin doa. Sebenarnya ada acara apa?

     Inggrid tambah penasaran, di tambah ia melihat dua buah kue ulang tahun yang ada diatas meja didepan Haris. Tanpa sadar ternyata gadis itu terus melangkah mendekat hingga pas di depan pintu. Tiba-tiba tatapannya bertemu dengan tatapan Haris, Inggrid tergelak segera ia menglihkan tatapannya dan segera pergi dari sana dengan santai seolah tak terjadi apa-apa.

     Saat ini Inggrid tengah duduk di halte depan sekolah. Gadis itu terus menggerutu, menyalahkan dirinya sendiri atas kelakuannya yang konyol tadi.

     "Gue itu kenapa, sih?!"

     "Iya, kamu itu kenapa berdiri didepan pintu? Apa ada perlu?"

     Suara seseorang mampu mengalihkan perhatiannya. Inggrid mendengus saat tahu siapa orang disampingnya.

     "Lo itu kayak jelangkung tau. Datang tak di jemput. Kenapa sih akhir-akhir ini gue sering ketemu ama lo?" Kata Inggrid sengit.

     Haris mengangkat kedua bahunya. "Saya tidak menjawab bahwa ini adalah sebuah kebetulan. Kenapa, karena saya yakin bahwa yang terjadi di dunia ini tak pernah luput dari campur tanganNya." Haris menyodorkan sepotong cheese cake yang di tarus di sebuah mika kecil tepat didepan wajah Inggrid. "Terima. Ini rejeki dari Allah."

     Awalnya Inggrid sedikit kaget saat Haris berkata bahwa cheese cake itu untuknya, namun sesaat kemudian Inggrid mampu mengendalikan gemuruh di dadanya.

     Inggrid mengambilnya, kemudian menengok pada Haris. "Gue jadi curiga sama lo. Hmm, jangan-jangan lo naksir yee ama gue? Wahh! Ini tidak baik bapak ketua kelas yang terhormat. Kan, lo sendiri yang bilang kalau pacaran itu D-O-S-A."

     Haris terkekeh sebentar. "Astagfirullah. Kamu ini adalah perempuan yang paling ke G-E-E-R-A-N yang saya kenal."

     Inggrid masih terdiam dan sesaat kemudian matanya membelalak. Ia baru mengerti.

     "Jadi maksud lo gue ngarep?! Enak aja. Males banget ngarepin cowok kayak lo." Inggrid menatap Haris tajam.

     Dari awal Haris tak pernah tahu bagaimana ekspresi gadis disampingnya, karena memang dari awal berbicara ia sama sekali tidak melihat wajah lawan bicaranya. Inggrid tidak tersinggung atas hal itu, karena ia tahu bagaimana sikap ketua kelasnya terhadap seseorang yang katanya bukan muhrim.

     "Saya tidak berpikir seperti itu, hanya saja-" cowok itu tidak menyelesaikan ucapannya. "Hari ini adalah hari ulang tahun saya dan saya hanya dapat syukuran kecil-kecilan dengan anggota ROHIS. Tapi, berhubung kamu ada disana tadi, yasudah."

     Inggrid menatap cheese cake di tangannya. Dalam hati ada perasaan tak enak. Dia benar-benar tak tahu bahwa hari ini ketua kelasnya ulang tahun. Inggrid kembali menengok berniat ingin mengucapkan sesuatu, tetapi Haris telah berjalan menjauh dari halte.

     "Eh, Haris makasih!" Dan akhirnya hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutnya.

* * *

Terimakasih untuk kamu yang benar-benar membaca tulisan ini.

Salam hangat
Dari penulis.

ThanksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang