BAB 04

53 30 13
                                    

     Pukul sembilan pagi, Inggrid tengah duduk di ayunan yang ada di pekarangan panti. menemani Lala dan anak-anak panti lainnya bermain. Ini hari libur, waktunya rehat dari padatnya jadwal pelajaran dan kegiatan sekolah.

     Inggrid merasa ayunananya sedikit bergoyang seperti ada orang lain yang menaiki, sesaat kemudian ia mendongak mendapatkan Lala dengan muka yang tengah cemberut. Inggrid tersenyum hangat.

     "Lala, kamu kenapa cemberut gitu? Udahan mainnya?"

     "Kakak udah tau belum?"

     Inggrid mengangkat sebelah alisnya, "tau apaan, La?"

     Terlihat Lala yang menunduk dalam-dalam, Inggrid hanya diam melihatnya. Tak selang lama nampak kedua pundak gadis kecil itu naik turun. Lala menangis. Inggrid bingung dan panik.

     "Eh, Lala kamu kenapa? Jangan nangis dong. Ada apa? Coba cerita sama kakak." Inggrid berkata sambil mengelus pelan rambut Lala.

     Lala mendongak, menatap Inggrid. "Ha.. hari ini hari ter.. terakhir aku main sama kakak. Hikss."

      Inggrid menggeleng, ia tak mengerti apa maksud ucapan Lala. Ia membawa Lala untuk keluar dari ayunan dan memeluknya.

     "Ush, kamu ngomong apaan sih? Kita bakalan bareng-bareng terus Lala, sampe nanti kamu dapat orangtua yang baik dan sayang sama kamu."

     "Tapi.. La..Lala udah. Hikss." Lala tidak mau menyelesaikan ucapannya.

     Dan Inggrid sudah mengerti apa yang Lala ucapkan. Ia menurunkan bandanya sedikit, menyamai tingginya dengan Lala. Inggrid memegang kedua bahu gadis kecil di hadapannya dan mencoba tersenyum.

     "Kapan kamu di jemput sama orangtua angkat kamu?"

     "Besok." Lala menatap Inggrid, tangisnya berangsur-angsur mereda.

     "Masih ada waktu sampai nanti malam, Lala. Kamu gak boleh sedih. Semoga kita bisa ketemu lagi, oke?" Lala mengangguk dan memeluk Inggrid.

     Inggrid masih dengan senyum yang dipaksakan. Sebenarnya, ia juga tak benar-benar yakin dengan ucapannya yang mengatakan; ia akan bertemu lagi dengan Lala. Siapa yang dapat membuatnya yakin? Sampai detik ini pun, sang pencipta belum juga mempertemukannya dengan kedua orangtua kandungnya.

     Suami ibu Rihana telah lama meninggal, seseorang yang paling dekat dengannya. Setelah ini Lala, gadis kecil yang menjadi alasan mengapa sampai sekarang ia masih mampu bertahan untuk menjalani semuanya. Lala mampu membuat ia tersenyum dan tertawa, menjadi suatu penyemangat tersendiri untuknya. Setelah ini apa lagi?

     Setetes air mata jatuh dan kalimat itu yang lagi-lagi ada di pikirannya.

     "Mengapa Engkau tak pernah adil kepada ku?"

***


     Karena jarak dari panti ke mini market tidak terlalu jauh Inggrid lebih memilih berjalan kaki, selain untuk menghemat ongkos itung-itung olahraga sore.

     Nanti malam adalah malam terakhir bagi ia dan anak-anak panti lainnya bersama Lala. Jadi, malam nanti mereka akan menghabiskan waktu dengan bercerita-cerita bersama Lala. Inggrid berinisiatif untuk membeli makanan ringan bagi mereka.  

     Tidak terkesan lebay, sih sebenarnya. Melihat umur kebanyakan anak-anak panti yang memang seumuran dengan Lala, apalagi Mereka akan berpisah jauh dengan gadis kecil yang paling ceria itu. Rencananya, Lala akan ikut kedua orangtua angkatnya ke Surabaya karena suatu pekerjaan. Entah sampai kapan? Yang pasti untuk satu bulan penuh, nanti.

     Memperhatikan jalanan sebentar, sebelum akhirnya Inggrid menyebrang. Gadis itu memasuki mini market yang bersebelahan dengan mini market yang satunya. Berjalan kearea rak-rak makanan ringan dan minuman, mengambilnya beberapa setelah melihat harga yang tertera.  Dirasa cukup, Inggrid berjalan kearah kasir untuk membayar.

     "Semuanya jadi lima puluh ribu mbak. Gak sekalian pulsanya mbak?"

      Inggrid menggeleng dan memberikan uang pas pada kasir yang mengucap terimakasih.
Keluar dengan menenteng satu kantung plastik penuh makanan di tangan kanannya.

     Inggrid tersenyum melihat kantung plastik yang ia bawa. Jangan berpikir yang negatif dulu terhadapnya. Inggrid juga masih punya pikiran untuk tidak berbelanja mengunakan uang yang ia copet kemarin, alasannya simpel. Ia tidak mau di tubuh anak-anak panti mengalir darah yang terbuat dari sesuatu yang tidak halal. Mau bagaimana pun juga, mereka semua masih dalam masa pertumbuhan. Biarkan mereka menjadi anak-anak yang baik dan tidak sepertinya.

     Cukup lama Inggrid berdiri di pinggir jalan depan mini market, untuk kembali menyebrang. Kendaraan disini selalu lewat dengan kencangnya, apalagi setelah jalan telah diperbaiki.

     "Assalamualaikum?"

     Inggrid menoleh dan ia mengehembuskan napas lelah pada orang di hadapannya, setelah itu kembali menatap awas kendaraan-kendaraan yang lewat.

     Seseorang di sampingnya tampak menggelengkan kepala. "Kalau ada yang ngucap salam tuh, ya dijawab dulu kek."

     "Waalaikumsalam." Jawab Inggrid tanpa menoleh.

     "Lo, ngapain disini? Gak mau nyopet lagi, kan?"

     Pertanyaan yang sungguh frontal itu membuat Inggrid dengan malas menoleh pada orang itu. "Dengar ya, bapak ketua yang terhormat. Gak ada urusannya saya mau ngapain sama situ."

     Haris menggeleng, "memang tidak ada. Tapi, apa saya salah hanya sekadar bertanya?"

     "Ia gue mau nyopet. Puas lo?" Sewot Inggrid.

     "Ouh, lebih baik jangan, itu bukan perkerjaan yang baik."

     "Suka-suka gue. Lagian lo tenang aja, gue cuma nyopet satu orang doang kok."

     Haris menaikan sebelah alisnya, "satu? Siapa?"

     "Elo," segera Inggrid berlari dan menyembrang meninggalkan Haris yang terdiam.

     Tampak cowok itu memeriksa tasnya untuk memastikan. Namun, wajahnya menjadi datar saat melihat uangnya masih utuh di dalam dompetnya. Ia dikerjai gadis yang tak bergaul di kelasnya itu—lebih tepatnya di sekolah.

     "Astagfirullah, berikanlah kesabaran bagi hambamu ini Ya Allah."

     Terkadang ia bingung dengan remaja jaman sekarang. Diberi nasihat yang baik malah nampak acuh tak acuh, bahkan ada yang terang-terangan bilang tak suka. Ya, seperti itulah yang Haris rasakan di sekolahnya. Apa mungkin ia terlalu formalitas dan otoriter menjadi seorang ketua kelas dan anggota rohis? Ah, menurutnya tidak. Ini hanya untuk menjadi batas antarannya dengan adik kelas, kakak kelas, teman sekelas dan teman yang bukan mahramnya. Bukankah segala sesuatu itu ada aturan dan takarannya? Ia hanya ingin menghargai semua orang.

***

Terimakasih untuk kamu yang benar-benar membaca tulisan ini.

Salam hangat dari
Penulis

[Setelah direvisi]

ThanksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang