BAB 07

20 15 13
                                    

     Berlalu sudah. Hari-hari berganti, matahari terbit dan tenggelam, yang terkadang tak nampak jingga fana dimata Inggrid. Dan tiga puluh hari telah terlewati, itu tandanya tersisa dua bulan lagi untuknya dapat melunasi semua tunggakan sekolah.

     Hari telah berganti, pun warung didepan panti yang kini lebih bagus dan besar karena habis di renovasi. Semua itu berkat donatur panti yang baik hati. Hari memang telah berganti, hebatnya Inggrid masih tak memberitahu ibu Rihana kalau ia sudah tak lagi berkerja di cafe mbak Cintya. Dan perkerjaannya kini? Entahlah.

     Akhir-akhir ini entah kenapa Inggrid sering kali mendapat nilai dibawah dari nilai yang biasa ia dapat. Ia sadar tentang penurunan nilainya yang drastis, ia juga sadar bahwa pekerjaannya untuk mendapatkan uanglah penyebabnya. Itulah sebabnya ia jarang kali melihat jingga fana di dekat panti, karena Inggrid kerap sekali pulang ba'da maghrib. Tetapi ia tak dapat meninggalkan semua itu sekarang

     "KRING.. KRING.." Suara bel tanda habisnya waktu istirahat berbunyi.

     Inggrid berdiri dari duduknya, membawa beberapa buku yang ia  pinjam tadi dan segera beranjak keluar dari perpustakaan. Di koridor menuju kelas tak sengaja Inggrid berpapasan dengan Erisca. Ia bersikap biasanya, tetap berjalan tanpa melirik sama sekali pada Erisca.

     Kejadian waktu itu memang telah berlalu, namun olokan  teman-teman terhadap dirinya tak usai sampai situ. Inggrid tak pernah marah pada Erisca yang kini tak pernah mencegatnya lagi jika bertemu, berbasa-basi dan akhirnya memaksanya untuk menjadi temannya. Lagi pula untuk apa marah. Hanya saja seperti ada yang menghilang dari hari-harinya. Masalah sudah selesai, bukan. Inggrid telah mendapatkan banyak wejangan dari guru BK dan kepala sekolah. Hampir-hampir ia mendapat Sp satu dari sekolah. Jika Erisca menjauhinya karena menyimpan dendam, itu bukan urusannya.

     sampai didepan kelas Inggrid mampu bernapas lega karena guru mata pelajaran Bahasa Indonesianya belum datang. Segera Inggrid masuk dan menduduki santai bangkunya yang ada di barisan paling depan, berhadapan dengan meja guru.

     "Saya rasa ada yang hilang akhir-akhir ini." Suara seseorang didepannya membuat Inggrid mendongak dan mengernyit.

     "Maksudnya lo ngomong gitu?"

     Haris tersenyum. "Akhir-akhir ini saya sangat mudah untuk mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Saat saya tahu penyebabnya, ternyata rival saya sedang kehilangan semangat dalam belajar."
     Inggrid menatap Haris datar. Gadis itu mulai mengerti apa yang ketua kelasnya ucapkan.

     Inggrid berdehem. "Harusnya lo bersyukur. Dengan begitu lo mudah mendapatkan nilai yang tinggi dan pujian guru-guru."

     "Dalam islam dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Jadi, ayo kita berebut nilai tertinggi, seperti dulu."

     Inggrid diam sesaat dan akhirnya mengangguk. "Oke, gue gak takut."

     Haris tersenyum tipis dan berlalu dari sana. Lelaki itu berhasil memicu kembali semangat seseorang yang akhir-akhir ini entah kenapa mampu menyita perhatiannya.

* * *

     Berjalan di terotoar, gadis itu terus saja menggerutu sepanjang jalan, kakinya sesekali menendang batu-batu kecil yang tak salah sama sekali. Setelah dua kali gagal dalam aksinya, kini Inggrid memilih untuk menunggu angkot yang lewat dan kembali ke panti.

     Didalam angkot yang menuju panti, Inggrid menatap selembar uang berwarna hijau yang ada di tangannya. Hanya itu. Iya, itu hasil yang ia dapatkan setelah berjam-jam berkeliling sebuah pasar tradisional. Cukup lama, akhirnya Inggrid memasukkannya ke dalam saku seragamnya dan menukarnya dengan selembar uang lima ribuan untuk membayar ongkos.

     Panti asuhan An-nur telah nampak dari dalam angkot. Segera Inggrid menyuruh supir untuk berhenti dan ia keluar dari angkot setelah membayar. Inggrid harus menunggu dahulu jalanan agar sepi untuk dapat menyebrang.

     Saat sampai di pekarangan panti, disana ada ibu Rihana yang tengah menemani anak-anak panti bermain sambil menyiram tanaman. Inggrid menghampiri dan mencium tangannya dengan sopan.

     "Kamu pulang sore lagi, nak?" Ibu Rihana tak melepas tangan Inggrid.

     Inggrid hanya tersenyum dan mengangguk. Nampak ibu Rihana yang menghela napas.

     "Ibu sudah tahu, bahwa kamu sudah tidak berkerja lagi di cafe, kan."

Inggrid diam.

     "Kenapa kamu gak kasih tahu ibu?" Tanya ibu Rihana.  "Sekarang, kamu kerja dimana?"

     Inggrid mematung sesaat. Otaknya tak diam memikirkan jawaban. Lama terdiam, gadis itu terperanjat saat ibu Rihana menepuk pelan bahunya.

     "Eh, itu bu, Inggrid kerja di cafe juga." Dalam hati ia merutuki dirinya sendiri. Kebohongan baru saja ia ciptakan. Lagi.

     Inggrid melihat ibu Rihana yang masih diam, segera ia mengambil kesempatan sebelum muncul kembali pertanyaan.

     "Yaudah, bu, Inggrid masuk dulu ya." Inggrid segera berlalu.

     Sekarang Inggrid hanya diam terduduk di bangku belajarnya. Pikirannya berkecamuk dan hatinya merasa risau akan sesuatu yang pasti akan terjadi. Apa yang harus ia lakukan jika ibu Rihana mengetahui yang sebenarnya.

     Inggrid mengela napas. Gadis itu memilih memberesi barang-barangnya, membersihkan diri dan kembali ke meja belajar dengan badan dan pikiran yang lumayan rileks. Ia menatap buku pelajaran esok dan tersenyum miring.

     "Sekarang waktunya buat belajar dan buktiin sama orang-orang yang ngeremehin gue, kalau gue gak kayak apa yang mereka bilang."

     Kini waktunya untuk masa bodo dengan hal-hal yang memusingkan kepalanya. Kini waktunya fighting untuk menunjukan pada Haris bahwa ia bisa merebut kembali nilai tertinggi di kelasnya.


* * *

Terimakasih untuk kamu yang benar-benar membaca tulisan ini.


Salam hangat
Dari penulis

ThanksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang