Inggrid masih menatap layar ponsel ibu Rihana yang menampilkan log panggilan dari ibu Linda. Beberapa menit yang lalu Lala menelepon, bilang ingin bicara dengannya.
Ditelepon Lala bercerita riang tentang pengalaman barunya selama di Surabaya. Bercerita tentang rumah yang anak itu tempati, tentang anak-anak kecil disana yang menjadi teman-temannya, tentang rencananya ingin melanjutkan sekolah sepulang dari Surabaya, dan juga tentang sepeda barunya.
Inggrid mendengarkan dengan senang hati, sesekali ia tertawa bila Lala bilang aku capek ngomong terus walau begitu Lala tak berhenti bercerita.
Hingga telepon ditutup, Inggrid masih merekahkan senyum senangnya. Setidaknya semua itu dapat mengobati rasa rindunya pada Lala.
"Sudah?" Ibu Rihana duduk dihadapan Inggrid.
Inggrid mengangguk. "Lala bilang, sekitar satu minggu lagi dia dan orangtuanya main kesini, bu." Inggrid mengembalikan ponsel ibu Rihana.
Ibu Rihana tersenyum. "Sebentar lagi, sabar aja. Lebih baik kamu cepat berangkat sekolah, takut telat."
"Eh, iya bu." Inggrid berdiri dan segera menyalami tangan ibu Rihana. "Kalau gitu, Inggrid berangkat ya bu."
"Hati-hati dijalan. Ibu doakan semoga pelanggan kafenya ramai, biar kamu dapat bonus."
Inggrid hanya mengangguk pelan. Segera ia memakai sepatunya dan berangkat sekolah.
Sebenarnya ia hampir saja lupa tentang masalah ia yang kini tak lagi berkerja di cafe dan kini belum dapat pekerjaan gantinya. Selain—apakah ia harus berkata jujur pada ibu Rihana?
"Neng, siswi SMA Cakrawala, kan? Sudah sampai nih."
Inggrid terperanjat saat penumpang disampingnya menyenggolnya. Memberitahu bahwa sang supir tengah berbicara padanya. Inggrid mengerjap sebentar, gadis itu baru engeuh kalau angkot yang ia tumpangi berhenti didepan sekolahnya. Segera Inggrid turun dari angkot dan tak lupa membayar ongkos.
Inggrid berjalan santai memasuki area sekolahnya, matanya menatap lurus-lurus kedepan. Saat berbelok ke koridor tak sengaja ia berpapasan dengan Erisca dan Clarissa, mereka terlihat cuek saja seolah tak melihat Inggrid disana. Inggrid menghembuskan napasnya dan terus berjalan.
Kepalanya berkecamuk. Apakah Erisca benar-benar membencinya? Apa karena kesalah pahaman tempo hari? Inggrid tak percaya jika Erisca mempercayai anggapan teman-temanya tentang ia yang mengambil handphone itu.
Inggrid menggeleng, berusaha untuk tak memikirkan hal yang membuatnya berakhir melamun dikelas saat pelajaran tengah berlangsung. Jangan sampai karena melamun ia jadi tertinggal pelajaran. Pasalnya kan saat ini ia tengah beradu nilai dengan ketua kelasnya yang menyebalkan.
Omong-omong tentang ketua kelasnya, ia jadi teringat dirinya yang belum memberi tahu Haris tentang nilainya yang lebih besar.
Kebetulan sekali, saat memasuki kelas ia melihat Haris yang duduk tenang di bangku cowok itu sambil membaca buku. Segera Inggrid menghampiri, tak lupa ia mengeluarkan kertas dari dalam tasnya untuk ditunjukkan pada Haris.
"Gue mau nagih janji lo," kata Inggrid sambil menyodorkan kertas ulangannya.
Haris mengalihkan perhatiannya dari buku yang ia baca pada kertas yang Inggrid sodorkan.
Cowok itu menaikan sebelah alisnya. "Ini baru mata pelajaran Fisika. Yang lainnya?"
Inggrid mengernyit. "Kok, gitu?" Gadis itu kembali memasukan kertas ulangannya kedalam tas."kalau lo maunya gitu, oke. Kita lihat siapa yang menang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks
Teen FictionBahagia. Apa yang ada dipikiranmu ketika mendengar kata itu? Harta? Kekuasaan? Impian yang menjadi nyata? Atau, dapat bersama dengan dia yang kita idamkan? Bersyukur. Cukup satu kata bagiku. Ini bukan kisahku yang tentang kebahagiaan, bukan pula...