BAB 06

28 17 6
                                    

      "Gue tau lo gak salah. Sekarang lo harus lurusin semua ini, kejar Haris, ngomong sama dia."

     Inggrid kaget dengan apa yang cowok di belakangnya katakan barusan. Namun dalam hati ia membenarkan apa yang cowok itu katakan. Akhirnya Inggrid mengangguk dan segera keluar kelas untuk mengejar Haris.

      "Haris! Haris, berenti!" Inggrid berteriak di koridor sekolah yang sepi.
     Ia terus mengejar Haris yang berjalan beberapa meter darinya. Saat melihat Haris berhenti dan membalikkan badannya, Inggrid berhenti berlari dan berjalan biasa menghampirinya.

     "Please, Ris. Dengerin gue, bukan gue yang ngelakuin itu. Tolong jangan laporin gue ke guru BK."

     Haris menggeleng. "Saya juga gak habis pikir, Inggrid. Walaupun saya tahu apa pekerjaan kamu, tapi saya gak pernah berpikir sejauh ini sama kamu. Mau bagaimana pun juga saya harus laporkan kejadian di kelas tadi." Haris beranjak dan Inggrid menghentikannya.

     "Please, Ris. Untuk kali ini gue minta tolong sama lo. kita bisa omongin ini baik-baik di kelas. Jangan nambah masalah gue Ris, masalah gue udah banyak disini."

     "Sekali lagi maaf Inggrid, saya tidak bisa. Saya tidak mau dicap sebagai ketua kelas yang tidak amanah, saya hanya menjalankan tugas saya. Saya harap kamu mengerti." Haris diam sebentar, "Inggrid, saya hanya mau mengingatkan. Bahwa bagaimanapun caranya, kamu gak akan bisa lari dari masalah. Karena pada akhirnya waktu akan membawa kamu di titik yang sama. Kamu gak perlu jelaskan apapun sama saya, tapi kamu perlu jelaskan itu sama Erisca. Permisi." Haris pergi dan Inggrid hanya diam.

     Ketua kelasnya benar, cowok itu hanya menjalankan tugasnya. Kini yang harus ia lakukan adalah berbicara empat mata dengan Erisca. Tapi, dimana gadis itu?

***

       "Aku tahu kamu punya tunggakkan sama sekolah. Tapi apa gak ada cara lain, Inggrid?" 

     Inggrid menatap Erisca tak percaya. "Tau dari mana lo?"

     "Aku denger pembicaraan kamu sama pegawai TU itu. Aku gak maksud, aku cuma penasaran."

     "Iya. Gue emang punya untang sama sekolah, tapi gue juga gak bakal tega ngambil hp lo. Gue emang miskin, tapi lo juga gak berhak ngomong kayak tadi sama gue. Lo sama aja kayak yang lainnya, Erisca."
    
    
     Suara bising yang berasal dari jalan raya  membuat Inggrid tersadar dari lamunannya. 

     Kini gadis itu tengah duduk di halte dekat sekolah. Tak ada yang ditunggu, hanya sekadar duduk saja.

     "Assalamualaikum?"

     Inggrid mendongak sebentar dan kembali memperhatikan jalan raya. "Waalaikumsalam. Ngapain disini? Nungguin bus? Biasanya lo naek motor?"

     "Kamu kurang berpengalaman untuk jadi stalker. Buktinya kamu gak tahu kalau saya gak setiap hari bawa motor ke sekolah."

     Inggrid membelalak. "Enak aja! Siapa juga yang pingin jadi stalker lo. Ogah."

     Haris terkekeh pelan. "Saya hanya bercanda. Hidup itu jangan terlalu dibawa serius, Inggrid. Kamu masih kepikiran masalah tadi?"

     "Bukan urusan lo juga. Noh, busnya datang. Udah sono, jangan-jangan ini cuma alesan lo biar bisa pedekate sama gue, ya?!" Inggrid tak serius mengatakan itu.

     Haris menggeleng. "Astagfirullah. Kamu ini jenis perempuan apa sih?"

     Inggrid mengangkat bahu acuh. Perempuan itu memperhatikan Haris dan penumpang lainnya yang mulai memasuki bus.

     Inggrid menghembuskan napas kasar. Haris benar, hidup tak usah terlalu dibawa serius. Biarkan semuanya berjalan dengan semestinya.

     Tapi, mulai besok ia tak lagi mendengar sapaan ceria yang keluar dari mulut Erisca. Mungkin, kan?

***
Beritahu dan maafkan, kalau-kalau ada salah kata atau bahasa. 😆

Terimakasih untuk kamu yang benar-benar membaca tulisan ini.

Salam hangat dari
Penulis

 

ThanksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang