Suara derap langkah seseorang memenuhi koridor kelas yang sepi. Langkahnya biasa, namun mimik wajah sang empunya berkata bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dalam pikirannya. Gadis itu terus berjalan melewati kelas-kelas yang kosong, karena memang jam pulang sekolah telah lewat tiga puluh menit.
Inggrid berjalan melewati gerbang yang masih dijaga pak Pripto—satpam sekolah—hingga jam enam sore nanti.
Alih-alih langsung pulang, gadis itu malah memilih duduk di halte depan sekolahnya. Tak ada hal penting yang ia lakukan disana, hanya memperhatikan kendara-kendaraan yang lewat di jalanan.
Sesekali ia menengok jam tangannya. Padahal enam puluh menit lagi matahari akan tenggelam dan ganti menyinari langit yang lain, tapi Inggrid enggan beranjak darisana.
Inggrid menghela napas berkali-kali. Ada satu pertanyaan, haruskah ia ikuti alur permainan Clarissa? Tapi ia tak ingin menjatuhkan nilainya. Lalu bagaimana dengan semua foto-foto itu? Jelas itu adalah ancaman bagi Inggrid.
Sebenarnya ia masa bodo dengan dirinya nanti yang akan mendapat cap buruk dari orang-orang yang sok tahu. Tapi ia juga masih memikirkan tentang ibu Rihana dan adik-adik panti asuhan An-nur, jika mereka tahu yang sebenarnya.
Inggrid menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang berseliweran di kepalanya. Ia berdiri dan menyetop angkot yang kebetulan lewat.
Angkot yang kebanyakan berisi para pegawai pabrik yang baru pulang itu telah membawanya dengan selamat sampai panti. Dan disinilah Inggrid, berdiri didepan pintu masuk. Baru saja tangannya ingin memutar knop pintu, pintu berwarna cokelat tua itu telah terbuka lebih dulu menampakkan ibu Rihana yang tersenyum hangat padanya.
"Inggrid, kamu sudah pulang ternyata. Kalau begitu segera bersihkan badan dan bersiap untuk shalat maghrib berjamaah."
Inggrid mengangguk. Badannya membungkuk untuk mempermudah ia membuka sepatunya, setelah itu ia segera masuk ke panti.
* * *
Inggrid menatap pantulan dirinya di cermin kecil yang sengaja ia tempel di dinding kamarnya.
Rambutnya telah tertutup rapi oleh mukena hijau toska milik ibu Rihana.
"Inggrid, ayo, nak. Nanti waktu maghribnya keburu abis," terdengar suara ketukan pintu berbarengan dengan suara ibu Rihana.
Menghela napas. Mungkin ini waktunya, setelah banyaknya alasan agar ia menjauh dari yang namanya shalat.
Segera Inggrid memakai bawahan mukenanya, mengambil sajadah dan keluar dari kamar untuk menuju ke kamar shalat yang berada disamping dapur.
"Ayo anak-anak kemari. Kita mulai shalatnya." Ibu Rihana menyembulkan kepalanya di pintu.
"Ayo, ayo, kita shalat." Seru semangat salah satu dari mereka.
Ibu Rihana merapikan terlebih dahulu shaf anak-anak, setelahnya menyuruh Iqbal—lelaki paling besar diantara anak lelaki lainnya— untuk menjadi imam.Ibu Rihana tersenyum hangat pada Inggrid yang masih berdiri diambang pintu.
"Ayo yang laki-laki, siapa aja qomat."
Perempuan bermukena putih berenda kuning itu menghampiri Inggrid dan mengajaknya untuk baris di shaf perempuan.
Suara iqomah terdengar dibarengi detak jantung Inggrid yang semakin cepat berdetak. Ia hanya memejamkan mata untuk mereda detak itu. Hingga terdengar bisikan ditelinganya.
"Tidak perlu takut. Kamu ikuti saja imam, dan yang paling penting baca al-fatihah."
Dan semuanya berjalan begitu saja. Kini gadis itu masih duduk diatas sajadahnya, padahal sejak beberapa menit yang lalu ibu Rihana serta yang lainnya telah bersiap untuk makan malam.
Inggrid menunduk dalam-dalam. Entah apa yang dirasa? Tapi tak dapat dipungkiri, bahwa ketenangan itu ada saat ia melakukannya. Apakah ini yang selama ini ia cari-cari?
Nyatanya, ketenangan dalam qolbu bukan hanya sesuatu yang dapat terlihat dan bersifat fana seperti harta. Cukup dengan menghadap padaNya, tercipta sebuah ketenangan yang tak ada tandingannya.
"Inggrid, ayo makan malam dulu."
Gadis itu mengangkat kepalanya, menengok kearah pintu ruangan yang terbuka lebar. Ibu Rihana berdiri dengan tangan yang memegang serbet dapur. Inggrid mengangguk dan ibu Rihana pergi setelahnya.
Inggrid menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Ia membukan mukena, membenahinya dan segera keluar dari ruang shalat yang menjadi saksi bisu atas pengaduan pertamanya pada sang pencipta.
***
Mungkin ada yang bingung. Sebenernya gendre cerita ini apasih? Jadi ini itu sebenernya spritual gitu. Karena kebanyakan yang baca wattpad itu remaja, jadi dibungkus dalam cerita anak SMA yang kurang menerima hidupnya. Kayak gak bersyukur gitu, tapi masih berusaha untuk tetap kuat.
Terkadang manusia itu sibuk mencari ketenangan. Padahal semua itu hanya terletak antara kening sang hamba dan tempat sujud.

KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks
Fiksi RemajaBahagia. Apa yang ada dipikiranmu ketika mendengar kata itu? Harta? Kekuasaan? Impian yang menjadi nyata? Atau, dapat bersama dengan dia yang kita idamkan? Bersyukur. Cukup satu kata bagiku. Ini bukan kisahku yang tentang kebahagiaan, bukan pula...