BAB 03

41 34 21
                                    

     Hari ini tak ada jingga fana di langit, hanya awan yang menggumpal. Mendung, tapi belum tentu juga hujan akan turun jadi Inggrid tetap melangkah lebar di terotoar.

     Mencari pekerjaan tak semudah yang ia bayangkan, waktu itukan cafe yang ia datangi memang sedang kebetulan membutuhkan seorang pelayan. Ia capek berjalan, hingga memilih untuk duduk di halte bus dekat situ. Dan tak lama hujan pun turun.

     Terlihat para pejalan kaki berlari kesana-kemari dengan tangan atau apapun yang bisa menghalau mereka dari rintik air hujan untuk mencari tempat berteduh. Halte bus yang tadinya sepi, mulai ramai orang-orang yang berdatangan.

     Seorang wanita berseragam duduk di sampingnya, sedang sibuk berbicara cukup keras pada seseorang di telpon.  Nampaknya orang yang di seberang telpon tak dapat mendengar wanita itu berbicara karena bisingnya suara hujan.

     Tak sengaja mata Inggrid melihat dompet ungu muda yang sedikit menyembul dari tas selempang yang wanita itu pakai. Suatu pikiran tiba-tiba muncul di kepalanya.

     Ia menggeleng, merasa bodoh jika melakukan hal yang ia pikirkan. Inggrid mengalihkan pandangannya pada hujan yang berangsur-angsur reda. Satu per satu orang mulai pergi, membuat halte kembali sepi.

     Namun wanita di sampingnya belum juga beranjak, masih sibuk menelpon dengan nada suara biasa. Dan nampaknya wanita itu tak menyadari dompetnya.

     "Ya sudah, nanti saya telpon lagi. Assalamualaikum." Wanita itu berdiri dan menatap Inggrid. "Saya duluan ya, dek."

     Inggrid tersentak sesaat, "eh, iya bu."

      Melihat wanita itu telah berjalan menjauh perasaan bersalah muncul di benaknya. Tetapi, sepertinya nafsu itu lebih besar.

***

      Dua kali Inggrid berhasil. Entah setan apa yang merasuki dirinya? Pikirnya; biarlah yang penting ia tidak ketahuan, kan?

     Cukup lama Inggrid memperhatikan seorang wanita yang ada di pinggir jalan sana, sepertinya tengah menunggu angkutan. Melihat sekitar dan Inggrid menghampirinya.

     Gadis itu berdiri di belakang wanita tadi, sekali lagi ia memperhatikan sekitar. Dan, dompet wanita itu kini sudah berada di tangannya. Langsung Inggrid menyembunyikan dompet ke belakang badan, antara punggung dan tas sekolahnya.

     Namun tiba-tiba seseorang merebut dompet itu dari genggamannya. Inggrid terperanjat.

     "Permisi, bu. Ini dompet ibu, tadi jatuh."

     Inggrid membelalak saat seorang pemuda berseragam sama seperti dirinya mengembalikan dompet yang tadi ia copet.

     "Eh, iya nak terimakasih ya. Untung, masih ada orang baik seperti kamu."

     Pemuda itu tersenyum dan ibu itu pergi dengan ojek yang kebetulan lewat.

     Dan kini, giliran Inggrid menatap tajam pemuda yang ada di sampingnya, Kemudian pergi meninggalkan pemuda itu yang tersenyum.
    
     Inggrid merutuki dirinya sendiri, mengapa ia bisa sebodoh itu? Untung saja ketua kelasnya yang sangat menyebalkan itu yang memergokinya, pikir Inggrid.

     Inggrid kembali pada halte tadi, tempat ia beristirahat dan pertama kalinya mengambil hak oranglain. Tak ada siapa pun disana, Inggrid duduk. Setelah ini ia akan segera pulang ke panti.

     "Kalau mau ngelakuin hal kayak tadi, tuh. Ya... ganti dulu kek seragamnya." Sontak Inggrid menengok pada Haris yang sudah duduk di sampingnya. "Biar kalau ketahuan, gak malu-maluin sekolah." 

     Gadis itu tidak menghiraukan perkataan Haris. Tetapi, benar juga yang dikatakan cowok itu. Ya, ia mengakui kalau dirinya memang bodoh.

     "Kenapa lo gak langsung bilang aja, kalau tuh dompet gue yang ngambil?" Inggrid bertanya dengan mata yang memandang lurus kendaraan yang lewat di depannya.

     "Tadinya sih, seperti itu. Tapi selagi saya bisa mencegahnya dengan perbuatan saya sendiri," Haris mengangkat kedua bahunya. "Lagi pula kamu belum apa-apakan isi dompetnya, kan?"

     Inggrid mengangguk. Ia melihat jamnya, lima belas menit lagi maghrib menjelang. Segera ia bangkit dari duduknya dan melangkah ke pinggir jalan, menunggu angkot yang lewat.

     "Jangan pernah ngelakuin itu lagi, Inggrid." Ternyata Haris mengikutinya.

     "Apa urusannya sama lo? Larangan lo cuma berlaku di kelas, bukan disini."

     "Tak ada batasan tempat bagi seorang muslim untuk mengingatkan kebaikan kepada oranglain. Lagi pula kamu seorang muslim, kan? Tidak mungkin kamu tidak tahu."

     Inggrid menatap Haris malas, "dan gak mungkin juga lo gak tahu, bahwa setiap orang punya alasan, kenapa dia ngelakuin sebuah kesalahan?"

     Haris mengangguk-angguk, "kamu yang barusan bilang sendiri, kalau itu adalah kesalahan. Jadi, kamu tahu dong apa yang harus seseorang lakukan setelah melakukan kesalahan?"

     Inggrid terdiam, ia barusan termakan ucapannya sendiri. Untungnya sebuah angkot penyelamat muncul, Inggrid menyetopnya dan segera masuk. Angkot itu berjalan meninggalkan Haris yang masih tersenyum.

     Benar yang sering ia dengar dari teman-teman sekelasnya, Haris Ramadan itu menyebalkan. Anggota Rohis, plus ketua kelasnya itu memang benar-benar menyebalkan. Pikir Inggrid.

   Dalam hati ia berharap, semoga esok sore kejadian tadi tak terulang lagi.

***

Terimakasih untuk kamu yang benar-benar membaca tulisan ini.

***

Catatan Author;

Maaf kalau menurut pembaca tidak nyambung, atau apalah..

Tapi, coba dulu baca sampai bab lima. Setelah itu? Terserah pembaca.

Salam hangat dari
Penulis

[Setelah direvisi]

ThanksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang