BAB 09

21 13 6
                                    

Hari ini kegiatan belajar mengajar berjalan seperti biasanya. Tak ada jam kosong, tak ada yang namanya gak ngerjain soal. Semuanya full pake otak atau modal nyontek.

Masih sama seperti hari-hari kemarin, Inggrid selalu menghabiskan waktu istirahatnya untuk baca buku di dalam kelas. Tapi ia tidak sendiri. Tentu ia tak mau kejadian waktu itu terjadi lagi.

Inggrid menyapu pandangannya keseluruh sudut kelas, mengabsen satu persatu murid yang ada. Tiga siswi kutu buku, dan dua cowok yang memang tukang molor, termasuk Boby.

Ia kembali fokus pada buku paket bahasa Indonesianya. Kali ini ia berharap untuk dapat tenang walau cuma sebentar.

Ketenangan itu hanya bertahan selama lima menit, karena tiba-tiba saja ia mendapati gebrakan keras di mejanya.

Inggrid terperanjat, ia mendongak. "Salah gue apasih? Lo bisa gak usah ganggu gue, Clar?"

Clarisa berdecak. "Lo yang usik gue duluan."

Inggrid berdiri dari duduknya. Ia menatap temannya tak suka. "Maksud lo apa?"

"Maksud gue ini," Clarisa menunjukkan kertas ulangan yang bernilai sembilan puluh. "Lo udah ngerbut posisi gue dikelas, dari nilai tertinggi."

Inggrid menggeleng tak mengerti. "Cuma karena nilai gue lebih besar dari lo?"

"Cuma lo bilang?" Clarisa memelotot.

"Kalau mau nilai gede, ya belajar. Gak usah marah-marah." Dengan santai ia kembali duduk dan melanjutkan aktivitas bacanya yang tadi terhenti.

Clarisa menatap Inggrid kesal, ia menghentakkan kaki dan berlalu dengan langkah cepat-cepat. Ia juga sempat menendang pintu kelas sebelum keluar.

* * *


Inggrid sengaja duduk lama di halte yang biasa ia kunjungi setiap pulang sekolah. Tangannya memegang kertas yang membuat Clarisa marah kepadanya.

Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, mencari-cari seseorang yang ia tunggu-tunggu.
Ia berdecak kesal. Inggrid capek menunggu. Lagi pula ia juga yang terlalu percaya diri, bahwa Haris akan lewat sana.

Inggrid menatap jam tangannya, ia mendongak, setelah itu berdiri dan segera beranjak dari sana.

"BUK" Ia tak sengaja menabrak bahu seseorang.

"Maaf, maaf." Tangannya reflek terulur.

"Gak usah minta maaf." Kata orang itu ketus.

Belum sempat ia melihat wajahnya, perempuan itu sudah melangkah menjauh dengan cepat-cepat.

Inggrid menatap punggung perempuan itu, ia mengernyit karena baru sadar bahwa seragam yang dikenakannya sama dengan seragam sekolahnya.

"Daripada mikirin yang gak jelas mending gue kerja."

Dengan langkah lebar gadis itu berjalan membelah kerumunan orang yang baru selesai dari pekerjaan rutin mereka.

Ia tersenyum tipis. Keramaian. Adalah hal yang kini dia sukai, karena dengan banyaknya orang-orang yang sibuk dengan dirinya masing-masing, memudahkan ia dalam aksinya.

Inggrid memang tak punya rasa kasihan atau bersalah sedikitpun. Tak memikirkan lelahnya orang-orang mencari hal yang bernama uang seharian penuh, dengan gampangnya ia mengambil semua itu dengan cara yang melanggar hak asasi manusia.

Bukannya ia tak pernah berpikir sampai situ, hanya saja ia juga sedang butuh yang namanya uang. Biarlah untuk saat ini hati nuraninya pergi entah kemana.

Waktu semakin beranjak sore, langit telah didominasi warna jingga fana dan Inggrid tengah duduk anteng dalam angkot-yang katanya terakhir hari ini.

Hari ini aksinya membuahkan tiga dompet kulit, kalau dilihat-lihat dompet itu pasti berharga mahal, apalagi dengan isinya.

Tapi entah kenapa perasaannya jadi tak enak semenjak ia tak sengaja menubruk bahu seseorang tadi.

* * *


Salam hangat dari
Penulis

ThanksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang