Mereka sudah selesai makan siang dan hendak berbalik ke kantor. Mona menyempatkan diri ke wastafel untuk mencuci tangan sedangkan Rani sudah standby dekat lift yang akan membawa mereka kembali ke pekerjaan rutin yang membosankan.
Sambil mencuci tangan, Mona meneliti seluruh bagian dari wajahnya. Hmm, lumayan menarik, gumannya memuji diri sendiri. Dibetulkannya letak rambut hingga menjuntai dengan indah.
Teringat kata-kata Rani bahwa Albert suka gadis feminin, ia mencoba tersenyum manis. Hasilnya malah senyum yang dipaksa.
Lucu banget. Mona menghela napas.
Sebetulnya dia juga tidak yakin bakal memenangkan hati Albert namun taruhan sudah diikrarkan. Mau tak mau ia harus putar otak untuk mencari jalan agar bisa menang taruhan. Masalahnya Rani punya segudang ide gila yang bakal menyengsarakan dirinya jika kalah taruhan kali ini.
Aduh biung...gimana neh.
Sambil mengibas-ibaskan tangannya yang masih basah, Mona melangkah keluar dan menghampiri Rani yang sedang menengadah ke arah layar monitor lantai lift.
Ting! Akhirnya pintu lift terbuka. Beberapa orang yang ada di dalam lift keluar. Diantaranya Albert, yang nampak berkilauan dengan kemeja Polo biru laut. Si centil Rani tak lupa menyunggingkan senyum menggodanya yang khas. Mona malah salah tingkah tak tahu harus berbuat apa. Tapi ia merasa kalau di wajahnya sekarang sedang terpasang mimik bengong terpesona.
Aduh! Ditepuknya jidatnya sendiri mengingat taruhan yang sudah diikrarkan barusan dengan Rani. Otaknya yang encer langsung bekerja.
Ok, relax...smile Mona...smile! Mona mencoba menarik bibirnya yang mungil dipoles lipstik warna pink metalik itu. Hasilnya mungkin terlihat senyum dibuat-buat. Entahlah. Dicobanya mengerlingkan mata, mencoba untuk mengirim sinyal-sinyal menurut kamus Rani. Hasilnya parah. Alisnya yang digerak-gerakkan.
Arrrggh, payah lo, Mon, umpatnya pada diri sendiri.
Albert menganggukkan kepala dan tersenyum tipis sambil melangkahkan kakinya. Rani tak bergerak menatapnya melewati mereka dengan cool.
"Weeh" Mona mengibaskan kedua tangannya di depan muka Rani. "Udah, woi...awas ntar ngiler lagi" Rani menepis tangan Mona.
"Amboiii...doi emang keren banget yaaaahh"
"He eh" Mona mengangguk setuju.
"Ayo kita balik"
Mereka masuk ke dalam lift bersamaan dengan beberapa orang yang sama-sama menunggu tadi. Sedikit berdesakan.
Tiba-tiba, Mona didorong dari belakang, hingga nyaris jatuh di dalam lift.
Sontoloyo. Siapa sih nih yang iseng
Dengan mimik garang, Mona berbalik dan hendak menyemprotkan sumpah serapah kepada orang tersebut. Belum sempat berkata-kata, ia merasa tubuhnya didesak hingga ke pojok. Rupanya saat itu, banyak yang memakai lift.
Aaaassh...ada apaan sih ni hari, dumelnya kesal.
Ia tidak bisa bergerak dengan leluasa karena tepat di depannya seorang cowo bertubuh atletis. Bahunya yang bidang setinggi lehernya. Jadi kira-kira, tinggi Mona pas di telinga cowo itu. Di samping kirinya dinding lift. Disamping kanannya Rani yang juga dalam keadaan terjepit. Mana kantor mereka ada di lantai 26 lagi.Long way to go.
Namun amarahnya masih ada di kepalanya. Pasti orang yang didepannya itu yang mendorong dia hingga nyaris jatuh.
Dengan marah, Mona mencolek bahunya dari belakang. Cowo itu tidak bergeming. Kening Mona berkerut tebal. Makin kesal. Dicoleknya sekali lagi. Kali ini lebih kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta 7 hari
RomanceMona tidak menyangka bakal ada cowo yang mati-matian mengejar dirinya sebagai Susan, kekasihnya yang dahulu telah meninggal karena kecelakaan. Takdir mempertemukan mereka berdua setiap hari, bahkan akhirnya malah Jimmy, cowo itu bekerja di kantor ya...