I

486 53 9
                                    

Menjadi seorang yang kesulitan ekonomi bukanlah keinginan. Semua orang pasti berharap dirinya berkecukupan. Entah itu menjadi seorang keturunan bangsawan, kerabat kerajaan maupun saudagar kaya.

Ya, di sini aku adalah seorang miskin di tengah kerajaan West yang begitu mengagumkan, konon katanya.  Yang semua orang lihat adalah begitu megah kerajaan yang diagung-agungkan oleh semua petinggi dan rakyat di dalamnya. Namun, satu hal yang mereka tidak ketahui dari kerajaan ini.

Kekuasaan yang semena-mena dalam istana.

.
.
.
.
.

CTAK

“Kau pikir siapa dirimu, jalang?!”

CTAK

Cemeti itu terus menyambar bagaikan halilitar di tengah badai yang tak kunjung reda. Tubuh-tubuh bergelimpangan di atas lantai, menggeliat karena sakit yang mendera. Isak tangis bergema lirih dalam ruang bawah tanah lembab terdengar riuh rendah. Sangat memilukan.

Aku hanya dapat meneteskan air mata dari balik jeruji besi. Rasanya sudah berabad-abad aku dikurung di sini. Tapi nyatanya, barulah semalam aku dijebloskan ke tempat mengerikan ini karena kesalahan kecil yang tak sengaja kuperbuat: menumpahkan teh bunga krisan sang Puteri.

Sungguh malang nasibku. Namun, nasibku ini nyatanya dapat dibilang sangat beruntung. Sebab nasibku tak semalang pelayan lain yang dijadikan alat pemuas nafsu para Pangeran.

Ya, benar. Selain menjadi pelayan kerajaan yang bertugas membersihkan kastil, mencuci pakaian dan sebagainya, mereka pun dituntut melayani nafsu para Pangeran dan para tamu kerajaan—itu pun jika ada dan meminta.

Mungkin kalian bertanya-tanya. Siapakah aku?

Baiklah. Aku adalah Jaejoong, begitu seorang pria tua memanggilku. Penyebutannya hampir mirip dengan pelafalan beberapa kosakata dalam bahasa Perancis. Jaejoong.

Aku tumbuh dan besar di jalanan. Bahkan aku tidak tahu siapa orang tuaku dan dari mana aku berasal. Karena bagaimanapun, penampilanku sangat berbeda dari penduduk kerajaan ini. Sampai pada suatu saat, Permaisuri menemukanku yang kala itu sedang meringkuk di sudut pagar yang ternyata sangat dekat dengan kastil bagian timur kerajaan West.

Fisikku yang lebih kecil dari pemuda kebanyakan membuatku kerap kali mendapat cemooh dan ejekan. Rambutku berwarna hitam legam—hal yang sangat langka di negeri ini. Sedangkan rambut orang-orang sekitarku berwarna pirang, coklat dan merah. Kulitku pun berbeda dari mereka yang putih pucat dan berbintik-bintik. Kulitku bertekstur lebih lembut dan putih mulus. Itu juga salah satu alasan mengapa aku kerap kali dijauhi oleh anak perempuan seumuranku.

Dan, yang paling mencolok dari semua itu adalah mataku. Mataku yang beriris hitam legam, bukan biru, hijau, maupun kemerahan.

Mata yang membuatku sempat diincar oleh Pangeran Edmund dari kerajaan North.

BRAK

Aku tersentak saat mendengar suara gebrakan yang lumayan kencang. Ternyata Kepala Pelayan Kerajaan, Theodore, yang baru saja memasuki ruang bawah tanah yang pengap ini.

“Mohon ampun sudah mengganggu Anda, Pangeran. Permaisuri memerintahkanku untuk membawa semua pelayan tanpa terkecuali ke Great Hall,” ujarnya seraya membungkuk kepada Pangeran Davith, pria yang tadi mencambuki para pelayan perempuan.

Pangeran Davith adalah putra Raja dari Selir Pertama yang terkadang membuatnya menjadi besar kepala, menurutku. Terlebih lagi, selama aku bekerja satu tahun di sini, Pangeran Davith ‘lah yang paling ‘memperhatikan’ para pelayan. Namun, satu hal yang patut aku syukuri darinya: dia tidak menyukai sesama jenis! Serupawan apapun ia.

Aku masih memperhatikan dialog antara Theodore dan Pangeran Davith. Semenit kemudian, sang Pangeran beranjak dari tempatnya. Tapi tiba-tiba, ia menolehkan wajahnya saat melewati selku dengan seringaian yang menyebalkan.

Ya Tuhan, tolong lindungi aku…

***

YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang