II

315 48 5
                                    

Aku menghela napas berat. Berharap kelak aku dapat keluar dari istana ini dengan selamat.

Permaisuri mengumpulkan para pelayan guna mengumumkan hal yang menurutnya sangat penting. Empat hari lagi kerajaan akan mengadakan sebuah acara besar, entah apa itu aku tak tahu, yang pastinya akan mengundang para Raja dan Pangeran dari kerajaan tetangga dari negeri seberang.

Aku harap Pangeran Edmund tidak hadir. Semoga.

Kurenggangkan tubuhku yang terasa amat pegal. Baru saja aku selesai membersihkan kandang kuda bersama Phill dan Ired. Aku melepas rompi lusuh yang kukenakan dan meletakkannya ke dalam ember di samping sumur. Kulirik Phill yang sedang menggosok punggung seekor kuda yang kuketahui milik Pangeran Nathan, putra Raja dari Selir Ketiga. Pemuda berambut pirang itu, Phill bersenandung ria sembari menyiramkan air pada kuda berwarna coklat tersebut.

Sedangkan rekanku yang satunya, Ired tengah mengangkut kantung-kantung berisi rumput segar ke kandang kuda. Ired, seorang pemuda berperawakan tinggi kurus berambut merah.

“Jae, apa kau sudah selesai?”

Aku menolehkan kepala ke arah Phill yang masih berkutat dengan aktivitasnya. Aku menganggukkan kepala. “Tentu saja. Tapi aku harus mencuci pakaianku dulu sebelum masuk ke dapur,” jawabku.

Phill ikut mengangguk pelan. “Sebagai laki-laki, kau terbilang sangat rajin, Jae. Yang kutahu, para pria di sini sangat jarang rajin sepertimu. Bahkan kau tidak punya bulu kaki dan bulu dada sedikit pun. Aku jadi ragu kalau kau itu laki-laki.”

Aku menggerutu mendengar kelakar Phill yang menurutku sangat tidak lucu. Kuraih ember kecil di sampingku yang terisi air dan kemudian melemparkannya ke arah pemuda itu. “Dasar gila!”

“Ouch! Ini sakit, Jae!” racaunya saat lemparanku tepat mengenai punggungnya yang kini basah oleh air. Aku memeletkan lidahku kepada Phill. “Makanya jangan asal bicara. Rasakan!”

Tak mau peduli lagi, aku pun melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Salah satu hal yang menurutku lumayan berat adalah saat menimba air. Entah siapa yang sudah merancang timba sumur ini. Ember yang digunakan untuk menimba sangat besar menurutku. Terasa sangat berat saat aku menarik tali tambang guna mengangkat ember yang kini terisi penuh oleh air.

“Kesulitan, Jae?”

Suara Ired mengejutkanku. Masih dalam posisi menarik tambang timba, aku menjawab pemuda jangkung itu, “Iya. Bisa kau bantu aku sebentar, ‘Red?” tanyaku. Selang beberapa detik, dapat kurasakan kehadirannya di sampingku. Tangannya yang terbilang kekar dalam tubuh yang kurus itu memegang erat tambang yang sedang kupegang. “Sekarang lepaskan, Jae. Aku saja yang menariknya.”

“Baiklah. Terima kasih, ‘Red,” ucapku sambil tersenyum simpul. Kulepaskan genggamanku pada tambang itu dan beranjak perlahan, membiarkan Ired untuk menarik timba. Setelah beberapa saat, akhirnya ember timba yang besar itu keluar juga dari sumur. Dengan hati-hati Ired meletakkan ember tersebut di dekat kakiku.

“Ini dia.”

Aku tersenyum sumringah saat melihat kalau ember itu benar-benar terisi penuh. Dengan begini aku bisa mencuci sampai bersih.

“Ah, Ired, sebagai gantinya kemarikan bajumu. Sekalian aku cucikan sampai bersih,” tawarku kepadanya. Ired tersenyum senang saat mendengar tawaranku yang sepertinya sangat menggiurkan. Namun, tiba-tiba Phill memekik keras pada kami, “Jae, kenapa kau tidak tawari aku juga?!”

Aku dan Ired balas tertawa melihat Phill yang kekanakan, “Asalkan kau mau memijat punggungku, tak masalah.” Ired terkikik geli sembari melepaskan pakaiannya.

Kami bisa sesantai ini karena memang hari sudah beranjak sore. Santai seperti ini pun dikarenakan setiap sore hari para anggota kerajaan akan berjalan-jalan ke kastil utara atau timur. Jadi, kami bisa sedikit beristirahat di sore hari.

YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang