IV

241 46 2
                                    

Tanganku mengusap pelipis yang basah oleh peluh. Napas sedikit terengah. Lantas dengan segera mendudukkan tubuh di balik semak-semak tempat persembunyian dan menarik napas perlahan. Kuedarkan pandangan, memastikan tidak ada yang mengikuti dari belakang. Namun…

SRAK

“HAH!”

Hosh… Hosh… Kupegang dada sebelah kiri yang terasa berdenyut-denyut. Jantungku berdebar dengan kencang, seakan copot dari tempatnya. Fred tertawa keras melihatku terkaget-kaget. Mungkin ekspresiku kali ini seperti habis dikejar-kejar setan. Tapi kurasa ‘setan’nya benar-benar ada di hadapanku sekarang!

“Hahahaha… Raut wajahmu lucu sekali, Jae. Pantas saja kau kalah terus. Kau benar-benar tidak pandai bersembunyi!”

Frederick tertawa terpingkal-pingkal seraya memegang perutnya yang bergetar karena tawa. Aku mendengus kasar sembari mencoba menormalkan napas dan detak jantung. Dasar bocah!

Tak berapa lama kemudian setelah puas tertawa, Fred mengulurkan tangannya yang mungil kepadaku yang masih duduk di atas tanah. Dengan senang hati kuterima uluran tangan itu. Ya, meskipun aku tidak menumpukan berat badanku kepada si Pangeran Kecil, setidaknya hal ini sedikit membantuku menyeimbangkan posisi tubuh.

Aku menepuk kepala Fred ringan. Hal yang sering aku lakukan pada si kembar kala bersantai seperti ini. “Kau berhasil mengejutkanku, Fred,” ujarku tanpa sungkan.

Sedangkan Fred yang mendengar perkataanku hanya menyengir tidak jelas. Kekehan kecil keluar dari bibirku. Fred dengan semangat menarik—menyeret sebenarnya—tanganku lalu berlari kecil menuju tepian hutan.

“Fred, bisakah kita istirahat sejenak?” tanyaku.

Fred menghentikan langkah lalu menoleh kepadaku, “Tentu. Apa kau lelah?”

Aku mengangguk tanda membenarkan.

“Baiklah kalau begitu. Tunggu di sini sebentar, aku akan memanggil yang lain.”

“Tidak, Pangeran. Sebaiknya kau yang tunggu di sini. Biar aku saja yang memanggil mereka.”

“Ck. Kita sedang bersantai, Jae. Jangan memanggilku dengan sebutan aneh itu.”

Aku menutup mulutku dengan punggung tangan saat tertawa. Aku sangat menyukai wajah merengut si kembar. Sangat menggemaskan!

“Aku tahu tempat mereka bersembunyi. Jadi tidak akan memakan banyak waktu untuk menemukan mereka. Cepat duduk di atas batu itu, ini perintah!” titahnya galak seraya menunjuk sebuah batu datar berukuran besar di bawah pohon pinus dengan dagunya. Aku mau tidak mau hanya mengiyakan perintahnya.

“Hati-hati, Fred. Kalau terjadi sesuatu, panggil namaku dengan keras.”

Pangeran Frederick menganggukkan kepala sambil berlalu, memasuki daerah tepian hutan yang ditumbuhi banyak pohon pinus yang menjulang tinggi. Aku mendudukkan diri di atas batu itu. Tangan terulur untuk memijat betis dan pergelangan kaki yang terasa sedikit pegal karena kebanyakan berlari dan berjongkok.

Waktu sudah mendekati sore hari, tetapi para Pangeran dan Putera Mahkota belum kembali juga dari hutan. Aroma pohon pinus yang menyengat, aku menyukainya. Rasanya sudah lama aku tidak mampir ke hutan ini. Kesibukan sebagai pelayan di istana memang menyita waktuku. Tidak ada waktu untuk sekedar berjalan-jalan di luar istana. Aku bahkan sudah lupa bagaimana pemandangan di luar sana.

Pikiranku melayang ke mana-mana. Tubuhku sedikit gemetaran saat melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana para Pangeran memperlakukan pelayan wanita waktu itu. Tak sedikit dari mereka yang berniat melarikan diri setelah mendapat perlakuan tak masuk akal para Pangeran. Bahkan ada pula yang disebabkan oleh para Puteri.

YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang