VI

200 41 0
                                    

Setitik noda darah membuat indera pengecapku merasakan rasa asin dan sedikit bau besi yang menempel. Menumpukan lutut di atas lantai bawah tanah yang dingin. Tubuhku hanya berbalutkan pakaian lusuh bergetar karena hawa dingin yang menguar.

Mataku sedikit berkabut mengingat kejadian yang baru saja beberapa jam lalu kulalui. Kedua tanganku diikat secara paksa di sebuah tiang. Duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala. Sesekali meringis saat merasakan perih yang mendera sudut bibir yang berdarah. Pipi berdenyut sakit karena tamparan keras yang berhasil dilayangkan Azele padaku.

Ya, mereka berdua melakukannya  lagi.

Setelah duel para pangeran di arena kemarin sore, Azele dan Helena langsung menyeretku ke ruang bawah tanah—tentu dengan bantuan beberapa pengawal kepercayaan mereka.

Dua puteri itu langsung memerintahkan para pengawal untuk mengikatku dalam posisi duduk bersimpuh menumpu dengan kedua lutut yang kini terasa sangat sakit. Entah sudah berapa jam lamanya aku dalam keadaan seperti ini. Kakiku mulai terasa mengencang kaku, lutut ngilu dan ini sangat menyakitkan.

Aku sendiri tidak mengetahui dengan pasti alasan mereka berbuat seperti ini kepadaku. Mungkin saja mereka ‘menagih hutang’ padaku, karena waktu itu—dengan tak acuhnya—mengabaikan titah mereka yang ‘mengundangku’ ke tempat ini.

Ruang bawah tanah kerajaan yang pengap dan lembab. Beberapa ruang tahanan yang ada kosong melompong. Aku hanya sendiri di tempat mengerikan ini. Terakhir aku ada di tempat ini pada saat tak sengaja menumpahkan teh pada gaun Helena. Dan akibatnya, aku harus bertahan satu malam di balik jeruji besi yang ada, tanpa makan dan minum.

Perutku terasa nyeri dan pandanganku sedikit berputar. Kenyataannya, belum ada sedikitpun makanan yang masuk kedalam perutku dari kemarin malam.

KRIEEET

Suara derit pintu kayu yang mengayun terdengar begitu nyaring. Kutengadahkan kepala guna melihat siapa pelakunya. Berharap dalam hati, jangan sampai dua perempuan itu datang lagi bersama pegawal-pengawalnya yang bertubuh besar.

“Jae!”

Aku menghela nafas penuh kelegaan saat mataku menangkap bayangan dua orang bocah laki-laki yang sangat aku kenal berlari menghampiriku yang bersimpuh tak berdaya. Kuulas senyuman kecil walaupun bibirku terasa amat perih.

“Oh, Jae. Maafkan kami-…” ucap Alan sembari mengusap pipinya yang basah. Sedangkan Frederick sedang berusaha membuka ikatan tali yang menyatukan kedua tanganku dengan tiang.

Hei, kenapa kalian meminta maaf? Lidah kelu untuk berucap. Tenggorokanku bahkan perih hanya untuk sekedar menelan ludah.

Kedua Pangeran bungsu itu selalu membantuku saat aku kesulitan dalam berhadapan dengan kedua kakak perempuannya. Dan aku sangat berterima kasih akan hal itu.

Kepalaku kini berdenyut menyakitkan. Ringisan keluar dari bibirku yang mengering. Pandanganku semakin berputar, bagai berpusing dalam satu pusaran yang membuatku mual.

Nafasku memburu karenanya. Entahlah. Aku rasa… aku sudah tak kuat lagi.

BRUK

“JAEJOONG!”

.
.
.
.
.

Eugh…

Silau.

Aku mengerjapkan kedua mataku guna menyesuaikan cahaya yang merangsek masuk ke dalam mataku. Tanganku terangkat mengusap kepala yang masih berdenyut—walaupun tak sesakit tadi. Kupandangi langit-langit ruangan yang tinggi menjulang.

Tunggu dulu. Di mana ini?

“Kau sudah sadar, Jae?”

Aku tersentak bangun, mendudukkan diri di atas ranjang yang sedang kutempati saat mendengar suara yang sangat familier di telingaku. Sang Permaisuri, perempuan yang paling aku hormati.

YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang