Derap kaki rombongan bocah selalu menjadi gaduh setiap kali lewat di depan Pondok Bianglala. Dengan wajah cemas, mereka berlari tunggang langgang, entah kenapa.
Tampak dari luar, kostan Ale ini memang nyeremin. Memang sih arsitektur gaya lama masih dilestarikan oleh pemilik kost yang konon punya darah ningrat. Tengok saja langit-langit yang tinggi menjulang hingga ornamen pintu dan jendela kayu warna coklat. Ditambah rimbunnya pohon rambutan di pekarangan bisa membuat bulu kuduk siapapun berdiri, apalagi jika Bono menclok di atasnya malem-malem. Kaya Barusan.
Di ruang tamu, jam kayu jati segede gaban Selalu berdentang tepat pukul 12 malam maupun siang. Enggak ada satu pun teman kampus Ale yang mau nginep di Bianglala. Selain takut, ya karena di kamar Ale gak pernah ada makanan.
Kalau Ale sih betah banget tinggal di sini, karena Bianglala mengingatkan dia pada rumah keluarganya yang udah disita Bank setelah usaha si Ayah bangkrut. Hal lain yang bikin Ale betah karena harga sewanya relatif murah daripada kostan lainnya di deket kampus.
Tapi, seperti namanya bianglala alias pelangi. Kelakuan penghuni di kostan milik Pak Ali sama Bu Halimah ini juga memang warna-warni.
"Apihhhh... jemurannya udah diangkat belum?! Mendung ini Pihhhh...." teriak Ibu Halimah seraya gak melacurkan matanya selain dari televisi.
Kontan Pak Ali yang baru aja beres cuci piring langsung ngacir ke lantai dua dengan busa masih menempel di kumisnya. Curiga dimakan itu sabun.
Di lantai dua yang memang tempat jemuran, dia nyomotin baju setengah kering satu persatu. Termasuk sempak Ibu Halimah yang serupa terpal dagang. Entah sayang atau takut, Pak Ali memang manjain banget Ibu Halimah. Dia yang ngurusin segala kebutuhan istri tercintanya ini. Dari mulai cuci baju sampai nyiapin air anget kuku buat mandi.
Sementara Bu Halimah kerjaannya cuma nonton DVD Drama Korea sambil makan sukro kiloan. Ya itulah cinta, kita gak akan pernah mengerti. Apalagi Ale yang perjalanan cintanya masih dangkal.
Pak Ali sama Ibu Halimah adalah orang yang paling disegani di Bianglala. Terutama saat tanggal muda.
"Bonooo... sudah tanggal lima ini," kata Pak Ali sambil ngipasin idungnya sendiri pake buku kwitansi.
"Kan udah dibayar Pak dua hari lalu."
"Iya, saya cuma mau bilang saja kalau sekarang ini tanggal lima. Siapa tau kamu mau bayar lagi. Heu...heu... heu..." Pak Ali terkekeh, "Uhukkkk.... Hukk... ahchh.." lalu batuk, keselek angin.
"Gak lucu pak," ucap Bono dalam hati.
Tapi pada dasarnya, induk semang di Bianglala ini memang asik. Keduanya gak jaim. Suka ikut nimbrung saat penghuni kostan lagi pada ngumpul. Terutama Pak Ali yang selalu ngasih ide bikin nasi liwet. Nah, nasi liwet ini biasanya dimakan bareng-bareng di atas daun pisang. Kalau ada daunnya.
Minimal satu minggu sekali, Pak Ali sengaja rutin ngegelar acara makan bareng. Misinya biar penghuni Bianglala selalu kompak. Menurut Pak Ali, selain mengikat hubungan kepada sang pencipta, pada sesama manusia juga harus dibina sebaik mungkin. Makanya di Bianglala ini jarang ada perselisihan. Yang Pak Ali tau sih gitu.
Yaaaaa, namanya orang, pasti aja punya sifat nyebelinnya. Pak Ali ini ogah banget rugi. Selalu bayar sumbangan buat bikin nasi liwet paling sedikit. Tapi dia mendingan sih daripada istrinya yang gak pernah ngasih kontribusi apapun. Tapi, giliran makan selalu paling banyak.
"Coba Le kasih tau yang lainnya, kita bikin nasi liwet sekarang," ajak Pak Ali yang timbre suaranya mirip Mario Teguh ini.
"Aduh... Ale baru aja makan, udah kenyang nih Pak," ucap Ale sambil pura-pura bersihin biji cabe fantasi yang nyelip di sela giginya pake kuku kelingking.
"Ini demi kebersamaan Ale. Kamu tidak makan juga no problem. Yang penting turut menyumbang. Ingat loh... demi KE-BER-SA-MA-AN!"
"Iya Pak, Berapa?" tanya Ale segera. Soalnya Pak Ali udah siap-siap mau ceramah dengan tema arti ke-ber-sa-ma-an. Ale bukan gak mau ngedengerin. Tapi udah sering.
"Karena kamu tidak ikut makan jadi dua puluh ribu saja. Oh iya, sekalian kamu tagih juga anak-anak yang lainnya."
"Yang lain bayar berapa Pak?"
"Sama, dua puluh ribu juga," sahut Pak Ali.
"Kok sama?"
"Eh Le... salah...salah." Pak Ali ngetuk-ngetuk bibir pake kuku telunjuk kanan, sementara tangan kirinya dijepit di ketek kanan. Lalu menjeling menatap alisnya sendiri. Tapi enggak bisa, mata Pak Ali malah kelihatan putihnya doang. Mungkin dia lagi ngitung uang yang dibutuhin buat bikin nasi liwet.
"Se-ridhonya saja. Tapi minimal dua puluh ribu ya setiap orang," Pak Ali ngelanjutin omongan.
"Se-ridhonya kok ada minimalnya Pak?"
"Ingatkan pada mereka Ale... ini demi KE-BER-SA-MA-AN!" Pak Ali mendekatkan wajahnya. Kumisnya hampir nyentuh pipi Ale. Ale merasa terintimidasi dan langsung lari.
Tapi Kalau duit udah ngumpul, gak perlu dikomando, Pak Ali langsung tancap gas pergi ke pasar pake motor bebek tujuh puluhnya. Dia jago nawar. Kali aja ada kembalian, kan bisa dikantongin juga.
***
"Who knows how long I've loved you, You know I love you still... Will I wait a lonely lifetime If you want me to, I will,"
-Lagu 'I Will' punya The Beatles terdengar aneh ketika dicover versi siulan oleh Pak Ali. Tapi dia enjoy aja, sembari ngulek sambel terasi bakal makan nasi liwet nanti-
Yang biasa bantu Pak Ali goreng tahu, tempe, jengkol sama ikan asin cuma Mbak Mona dan Mbak Zuleha doang. Sisanya cuma mau makannya aja. Macam si trio TLC alias Titin, Lilis dan Ceuceu yang malah bergosip ria sambil estafet nyari kutu. Sedangkan Pakde Karso sama Mas Parjo anteng main catur di teras depan. Mereka memang rival abadi. Ada Ronald juga sih di situ. Main karambol sendiri, gak ada yang nemenin.
Sementara Ale dan Bono main gitar, sambil nunggu nasi liwet mateng. Cuma Rara yang gak keluar kamar. Mungkin lagi sibuk desain baju. dia lagi punya mimpi buka butik. Tapi Rara kasih sumbangan buat nasi liwet Rp 50 ribu. Sama kaya Mbak Mona.
Sasha anaknya Pak Ali juga diem di kamar sih. Bedanya, dia lagi fokus baca buku pelajaran. Kalau ibunya tetep masih mager nonton DVD drama Korea. Katanya tanggung masih ada 7 episode lagi.
"Apihhh... nasi liwetnya udah mateng belumm?!" teriak Bu Halimah kelaperan. Kali ini Pak Ali pura-pura tuli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Monyet di Bianglala [On-Going] [Komedi Romantis]
RomanceYang namanya rindu, dari mulai Albert Einsten, Hitler hingga Jullius Caesar pun bohong rasanya kalau nggak pernah ngalamin. Mereka orang besar. Apalagi Ale yang hanya seorang jurnalis dan drummer cabutan. 20 % Komedi 40 % Romantis 37,5% Absurd 2,5...