Bab 34 - 39,8 Derajat

20 2 0
                                    

I've been waiting for this silence all night long
It's just a matter of time
To appear sad
With the same old decent lazy eye
Fixed to rest on you
(Lazy Eye - Silver sun Pickups)

Suasana Pondok Bianglala hening
Sekitar jam dua belas malam ini. Daripada ngelamun di dalam kamar, Ale milih duduk bersila di halaman belakang.

Masa harus rapuh karena jatuh cinta? Apa itu sedih? Hanya orang lemah yang kaya gitu. Dan Ale sekarang memang sedang lemah. Masih terus merasa rugi gak bisa jujur ke Rara dari dulu. Menyesal lebih tepatnya yang sedang dia tanggung dalam hatinya.

Mencoba bertanya-tanya pada keheningan malam dalam subjektivitas prasangkanya yang menganut pada persepsi melulu. Ale membiarkan opininya yang menjawab segala pertanyaan batinnya tentang Rara. Sedang apa? Apakah sedang tertawa atau nestapa?

"Ah paling juga lagi bahagia," imajinasi hitamnya Ale yang berbicara. Meskipun bias pada situasi yang sebenarnya.

Memang namanya juga jatuh hati. Ada kata jatuh di situ. Dan siapa saja yang jatuh udah pasti bakalan sakit. Minimal kaget. Ale juga begitu. Ini rasa sakit pertamanya di bulan September. Karena udah dua hari ini Ale ngeliat lampu kamar kostnya Rara yang terus padam. Artinya, selama 2x24 jam ini Rara gak tidur di Pondok Bianglala.

Ale gak ngerasa egois. Gak ngeuh sih. Padahal Rara juga sebenernya pernah ngerasain hal yang serupa waktu Ale pergi ke Makassar bareng Mona tempo hari.

Saat ini, entah berapa jumlah bentol yang bermunculan di kulit Ale. Nyamuk-nyamuk yang beringas gak bikin Ale nyerah untuk berkontemplasi di halaman belakang.

Dia udah lama banget gak nyebut kata 'Seandainya'. Tapi kata itu akhirnya terucap kembali. Seandainya Ale tau ujungnya bakalan ada yang namanya cemburu, sakit hati dan menyesal tentu bakal lebih berani buat ngungkapin perasaan kepada Rara.

"Ra mau kan Ale jadi cowo Rara? Kalau mau, Ale juga mau banget kok kalau Rara jadi cewe Ale," ucapnya dalam lamunan.

Apapun caranya, Ale pengen Rara bahagia. Meskipun harus menghindar dari kehidupan Rara sekalipun. Tapi kalau bisa sih, kebahagiaan Rara jangan sampai harus ditebus oleh ketiadaan Ale.

Tapi di sisi lain, Ale gak mau terbelenggu terus pada dunia lamunan. Bagaimana caranya move on, itu yang sedang dia cari. Hingga akhirnya Ale ngetik sesuatu di ponselnya.

{Mona, makasih untuk semuanya. Mona udah baik banget sama Ale. Selimut, sabun muka, kompresan karet, pokonya semua yang udah Mona kasih ke Ale itu berguna banget. Mulai hari ini, Ale juga ingin berguna buat Mona. Mau kan bareng sama Ale?} chat dari Ale langsung dikirimin ke Mona.

{Gak mau ahhhhh. Gak mau lewat chat. Btw, ngapain kamu daritadi nongkrong sendirian di halaman belakang?}

{Aaah, aku kira udah bobo. Makanya berani chat juga. Tapi kenapa tau aku di halaman belakang?}

{Sini ya Ale aku kasih tau. Kamu lupa ya kalau kita itu satu kostan? Ya pasti keliatan. Nih dari kamar aku juga keliatan ada cowo yang lagi duduk di halaman belakang. Benerin dulu celengan semarnya tuh. Tar masuk angin.}

Ale segera benerin celananya yang memang melorot. Kepalanya juga ikut memutar ketika gendang telinganya menangkap ada satu pintu kamar di kostan yang ngebuka.

"Mon..." kata Ale.

Seorang wanita menggunakan jaket hoodie hitam menghampiri Ale tapi bergerak sangat lambat bukan dari kamar Mona. Saat mendekat mata wanita ini tampak sayu dan pipinya terlihat merah.

"Ale panas aku 39,8 derajat." wanita itu menunjukan angka di termometer. Otomatis Ale terperanjat dan kontan menempelkan telapak tangan di dahinya.

Rupanya Rara udah dua hari ini gak keluar kamar. Dia bilang terus istirahat lantaran lemes. Bahkan Paracetamol gak mampu bikin demamnya turun. Akhirnya Ale membopong Rara kembali ke kamarnya. Dia meminta ditunjukan keberadaan surat-surat penting dan kunci mobil. Bukan mau merampok, tapi Ale pengen segera bawa Mona yang sedang kepayahan pergi ke rumah sakit.

"Romi ke mana Ra?" tanya Ale sebelum membawa Rara masuk ke mobil.

"Dia lagi gak bisa diganggu. Lagi banyak kerjaan."

"Udah ditelepon?"

"Udah tapi gak diangkat-angkat."

Sebelum masuk ke mobil sambil sambil bopong Rara, Ale noleh ke kamar Mona. Keduanya saling bertemu mata dari balik kaca jendela yang gak ditutup rapat, tapi Mona segera membuang wajah. Dingin.

"Maaf Mona, ini urusan kemanusiaan dan rasa sayang yang belum juga melebur," ucap Ale dalam hati.

Setelah meninggalkan Pondok Bianglala, Sepanjang perjalanan Ale membesut mobil milik Rara pada 70 hingga 80 kilometer/jam. Dia ingin Rara segera ditangani oleh petugas medis rumah sakit.

Tapi Rara meminta Ale mengendurkan kakinya agar jangan terlalu dalam menginjak pedal gas. Rara memang lagi demam tinggi, tapi masih waras untuk bilang, "Aku masih belum pengen mati Ale. Pelan aja ya."

Sesampainya di rumah sakit, Rara dibawa oleh petugas medis untuk masuk ke IGD. Sementara Ale memarkirkan mobil lantas segera mengurus persyaratan.

Sambil menunggu administrasi rampung, Ale mengecek layar ponselnya. Dia menuliskan sesuatu di kolom chat Mona.

{Mon... Udah bobo?} Tulis Ale namun gak kunjung ada balasan.

{Mona... Ale nganter dulu Rara ke rumah sakit ya} tulis Ale lagi, namun hanya centang satu. Sepertinya handphone Mona gak aktif tepat di jam dua pagi. Entah juga jika karena alasan lain hingga.

Berbeda dengan Rara, di ruang observasi dia mencoba berbicara dengan Romi yang rupanya baru bangun dari mimpi indahnya.

{Maafin ya sayang, aku ketiduran di kamar si bos. Maaf ya sayang.} tulis Romi ke pesan di ponsel milik Rara.

Ada Monyet di Bianglala [On-Going] [Komedi Romantis]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang