"Orang itu gila, ya?" tanya seorang anak laki-laki yang usianya tak lebih dari sepuluh tahun seraya melirik seorang lelaki muda berambut hitam yang berjarak beberapa langkah darinya.
Seorang gadis kecil yang berada di sampingnya segera menatap rekannya dengan tajam, "Hey, jangan begitu. Dia bisu, tahu."
Lelaki muda yang menjadi subjek konversasi mereka terlihat berwajah datar meski diam-diam melirik kedua anak kecil itu dengan ekor matanya sekilas. Sesungguhnya ia ingin segera melarikan diri dari gedung resepsi pernikahan jika memungkinkan, sayangnya ia sama sekali tak bisa melakukannya. Ia masih harus berada di gedung selama keluarganya belum meninggalkan lokasi pesta.
Sasuke segera menepuk bahu Itachi yang berdiri tak jauh darinya. Lelaki itu terlihat asik mengobrol dengan saudara lainnya dan sama sekali menyadari apa yang baru saja dialami sang adik.
Itachi segera menoleh dan Sasuke segera menggerakkan tangannya, 'Aku mau ke toilet.'
"Cepat, ya. Acara nya mulai lima belas menit lagi."
Sasuke hanya menganggukan kepala dan ia segera melangkah dengan cepat. Dadanya terasa sesak dan ia memerlukan waktu untuk mendinginkan kepalanya meski emosinya sedikit kacau. Ia kesulitan mempertahankan raut wajah datar yang selama ini selalu diperlihatkan kepada orang lain.
Ia sedikit berlari dan mendorong pintu toilet pria dengan kasar sehingga membuat dua orang pria lain yang berada di urinoir meliriknya. Namun ia tak mempedulikannya dan segera masuk ke dalam bilik serta menutup pintu tanpa peduli jika mungkin saja beberapa orang mengernyitkan dahi melihatnya.
Tangan lelaki itu segera menyentuh penutup kloset dan ia segera menutupnya kemudian duduk di atas kloset serta memejamkan matanya. Ia merasa sedikit lebih tenang saat ini setelah sebelumnya dadanya terasa seolah akan meledak.
Napasnya seolah sesak. Tubuhnya mendadak terasa lemas dan ia menahan diri agar tidak melarikan diri dari gedung resepsi dan pulang ke rumah. Ia tidak menyangka sebuah pertanyaan polos dari seorang anak kecil bisa membuatnya emosional begini.
Sasuke merasa tidak nyaman. Ia merasa malu dan begitu bersalah karena telah mempermalukan keluarganya akibat eksistensinya. Ia merasa begitu bersalahan karena telah lahir dan bertumbuh besar serta hidup hingga detik ini sehingga membebani orang lain.
Bagaimana bisa seorang anggota keluarga pemilik saham terbesar di sebuah korporasi dianggap sebagai orang gila oleh seorang bocah yang berusia tak lebih dari sepuluh tahun? Mau dikemanakan harga diri keluarganya? Sasuke menyesal karena ia tidak bersikeras menolak ketika kakak sepupunya memintanya untuk menjadi best man di acara pernikahannya.
"Akh," Sasuke mengeluarkan suara yang terdengar seperti orang yang tercekik. Tenggorokannya bahkan terasa seolah tercekat dan napasnya pun sedikit sesak. Sesuatu pasti telah mencuri logika yang selama ini digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan maupun caranya bertindak.
Sasuke memejamkan mata dan mengatur napasnya, berusaha menenangkan dirinya. Harusnya ia tahu diri, dengan berusaha tidak menunjukkan kondisinya yang sesungguhnya di tempat umum. Ia baru saja menghancurkan pernikahan seseorang secara tidak langsung.
.
.
Sasuke membuka matanya dan terbangun dengan napas yang tersengal-sengal. Ia bukanlah orang yang sering bermimpi, namun entah kenapa ia malah teringat dengan kejadian lebih dari lima tahun yang lalu dan ia merasa sesak.
Tak banyak orang yang menyadarinya, namun sebetulnya Sasuke tak sedingin yang terlihat. Raut wajah lelak itu memang datar dan ia jelas bukan orang paling ramah di antara teman-temannya, namun terkadang ia cukup emosional. Ketika ia bersikap emosional, tak banyak orang yang menyadarinya karena biasanya ia menyimpan untuk dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Silence (Sasuke.U x Sakura.H Fanfiction)
Fanfiction✅PDF Ready Isi : 44 chapter + Epilog + 2 Bonus Chapter Total 300+ Halaman Harga : Rp. 20.000 . . Sakura, seorang penulis amatir, memutuskan berkunjung ke sebuah kafe bertema keheningan dan jatuh cinta dengan kue yang memiliki rasa anti mainstream se...