Ep 69 • special pt. 2

108 15 1
                                    

Renjun POV

Brakkkk

"ARGH!!!"

Brakkkk

"ARGH!!!"

Aku menutup rapat-rapat telingaku saat orang yang kusebut Mama, membanting vas kaca. Aku duduk dibalik pintu kamar, menutup telingaku tapi aku tetap saja mendengarnya, tanpa sadar air mata mengalir ke wajahku.

Karena aku sadar, aku yang membuat Mama melakukan itu. Karena aku tak sesuai dengan harapannya.

Aku ingin jadi seseorang yang dapat Mama banggakan. Aku belajar setiap hari. Semua temanku mengajakku untuk bermain game, tapi aku lebih memilih untuk diam di rumah dan belajar.

Mungkin ini cara agar Mama bisa lebih menyayaingiku.

Ketika sekolah telah usai, aku akan pulang ke rumah, sendiri. Aku tak pernah bermain kemana-mana, walaupun aku merasa sangat kesepian.

Aku adalah anak yang penurut tetapi,

Setiap aku pulang, aku hanya berlari memasukki kamarku.

Ketika Aku terlihat berjalan saja, aku hanya berjalan, Mama bisa saja melempariku dengan piring atau apapun yang ada di dekatnya.

Aku bisa bertahan sampai di titik dimana aku bertanya pada diriku sendiri,

Apa yang salah? Apa yang salah? Apa aku ini bukan anak mereka?

Lambat waktu, sedikit demi sedikit aku mulai mengerti. Mengapa aku diperlakukan selama ini.

"Sayang, Renjun itu cowok. Aku tahu kamu sangat menyayangi anak perempuan kita."

Jadi selama ini aku punya saudara, aku bahkan tak tahu itu!

"Tapi, dia sudah meninggal saat lahir, aku juga sangat tahu, kamu sayang dia, mereka sama-sama anak kita, sekali saja, tolong, sayangi Renjun."

Jadi, aku punya kembaran, perempuan, Ia harusnya menjadi adikku.

Aku tak sadar meneteskan air mataku lagi. Mama ingin anak perempuan. Ini sebabnya setiap akhir tahun, aku dibelikan lima baju, satu baju cowok dan empat baju cewek, tapi semuanya itu ukuranku.

Luka dihatiku tidak sepenuhnya sembuh, aku hanya menutupinya.

'Renjun, Anak pere-, semua anak harus bersih, cuci tanganmu!'

Aku selalu ingat kata-kata itu dengan jelas. Kelas 1 SMP, pertama kalinya Mama memanggil namaku, Renjun. Jadi, aku mengingat jelas kata-kata itu.

Mama mulai menyayaingiku ketika aku selesai mandi, selesai cuci tangan. Walaupun sedikit, aku sudah senang. Luka lamaku terobati. Aku jadi percaya bahwa kalau aku bersih, Mama akan menyayaingiku, aku hanya harus bersih, itu saja.

Lama-kelamaan, aku terobsesi pada kebersihan. Aku benci sekolah, sekolah memiliki banyak kuman, aku sampai menghafal kuman yang ada di kursi apa saja, dan aku memulai home schooling. Rumahku adalah tempat yang paling bersih, pikirku.

Aku sadar bahwa aku mengidap myshophobia, aku sadar. Tapi, aku masih ingin kasih sayang dari Mama.

Suatu hari, seorang teman dari SMP ku datang kerumahku dan mengaku sebagai pacarku kepada Papa, pantas saja Ia boleh masuk.

Ia teman sekelompokku. Ia menerobos masuk kedalam rumahku. Ia memarahiku karena aku keluar dari sekolah, karena aku keluar, tugas kelompok mereka selalu mendapat nilai yang pas-pasan, katanya.

Tanpa sadar, aku menyemprotkan pestisida andalanku keseluruh tubuhnya, haha.

Ia memarahiku. Menarik tanganku keluar dan mengajakku duduk di teras. Aku sangat tak suka berada di luar, aku kabur dan segera masuk.

Walau pintu sudah ku tutup, Ia tetap saja kedalam. Memegang barang-barangku, aku tak bisa menahan ini. Aku mendorongnya dan mendudukannya diatas lantai beralas koran, di sudut kamar.

Kemudian Ia menangis. Aku hanya mendiamkannya. Sampai akhirnya ia pulang.

Keesokan harinya Ia menghampiriku lagi. Dengan pakaian serba putihnya, Ia mengajakku keluar, memaksa lu melakukan ini dan itu diluar, aku benar-benar frustrasi.

Aku selalu saja pergi meninggalkannya.

Setiap hari Ia selalu datang kepadaku, tapi lagi-lagi,

Aku selalu saja pergi meninggalkannya.

Di rumahku hanya ada Papa, sekarang. Aku tak tahu harus bersyukur atau bagaimana, Mama sudah ada di sebuah rumah sakit. Bukan sakit secara fisik tapi sebaliknya.

"Jangan temui aku lagi."

Kata-kata itu membekas di benakku. Beberapa hari setelah kulontarkan perkataanku itu, Ia benar-benar melakukannya. Ia tak menemui aku lagi.

Aku merasa sangat bebas.

Tapi, di satu sisi, aku senang jika bisa bertemu dengannya. Tahu kan, aku ini tak punya teman. Aku mulai berpikir bahwa aku seharusnya bersyukur, bukannya malah seperti ini.

Tapi, aku tidak dapat menemukan keberadaannya, jadi aku menyerah.

Mengakhiri cinta pertamaku.

Apa benar ini aku? Apa aku benar-benar mencintainya? Aku barusan bicara apa?

Aku melihat! Ya benar, gadis yang kutunggu. Yang mengacak-rumahku, dan salah satu organ tubuhku. Ia muncul ke hadapanku.

Aku sudah lama menunggunya~

Ia memberiku plastik yang berisi sampah makanan, kaleng dan sebangsanya.

Ia mengancamku, Ia akan pergi meninggalkanku, lagi.

Aku tak peduli, aku bukan budak cinta.

Sehari, dua hari tak cukup waktu untuk hanya sekedar memegang sampah-sampah itu.

"Bisa tidak, jangan ganggu aku." Keluhku padanya.

"Sampah hari ini, sama yang kemarin sama, makin lama pegangnya, makin banyak kumannya."

Mau bagaimana pun penjelasannya aku tak mau, ayo kita berlomba, siapa yang lebih bertahan?

Ia menarik tanganku dan memasukkannya kedalam kantung dengan pemaksaan. Ia sepertinya menghabiskan waktunya untuk belajar mengunci tangan orang lain ketika Ia menghilang waktu itu.

Nyawaku seperti terangkat rasanya. ia mengeluarkan tanganku dan menahan badanku agar aku tak bisa lari dan mencuci tanganku.

"Lihat ini, udah setengah menit, gak papa kan? Gak kena penyakit, gak mati juga."

"Nih kalo takut, kenaiin tangannya ke aku, biar kalo sakit aku sama-sama ketularan." Tambahnya.

Aku menahan diriku untuk mencuci tanganku, menahan untuk tidak mengenakan tanganku padanya.

Aku percaya padanya.
Aku ingin menghargainya.

Aku sudah banyak berubah,
Aku butuh bantuan padamu, satu kali lagi.

Balaslah perasaanku, aku mencintaimu.

Renjun POV end.

Summer RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang