Salam 0.

445 23 4
                                    

[—Salam 0.]

Sejenak kuamati kalender di telepon pintarku. Tanggal 1 Juni 2053. Empat hari lagi menjelang perayaan besar umat muslim di seluruh dunia—Hari Raya Eid Fitr,

"Papa, bisa tolong kupaskan jeruk ini?"

Itu Melvin. Anak kesayanganku yang baru berusia 10 tahun. Baru saja naik kelas 4 SD. Suara kecil itu terdengar memohon kepadaku. Aku tengah duduk di kursi goyang kesayanganku yang telah menemaniku selama kurang lebih dua per tiga umurku.

Kuterima buah bulat itu dengan senyum hangatku untuknya. Aku bersyukur bisa istirahat sejenak untuk menemaninya setelah lelah memanajemeni perkebunan bunga milikku.

"Ini. Jangan kamu makan di depan teman-temanmu. Mereka sedang menjalankan ibadah puasa. Hormatilah mereka." Kataku.

"Iya papa. Xie xie. Aku tidak pergi bermain. Aku makan di sini saja bersama dengan papa." Katanya lugu.

Ia mengambil kursi lipat mini miliknya dan ikut duduk di sebelahku, ikut khusyuk mendengarkan dialog rohani umat islam yang belakangan kerap tayang di bulan suci umat muslim ini—Bulan Ramadan.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, artinya adalah "Semoga keselamatan dan rahmat Allah, serta keberkahan-Nya terlimpah kepada kalian. Salam memiliki makna yang substansial, essensial dan mendalam bagi kita umat Islam. Kalimat salam tidak hanya digunakan sebagai tradisi menegur sapa saja, tetapi, mengandung filosofi bahwa umat muslim harus saling mendoakan dan tidak saling membenci. Bahkan kepada semua umat yang ada di dunia ini."

Aku mendengarkan dengan seksama materi yang dibawakan oleh ustadz yang ada di dalam acara televisi termasyur itu. Aku selalu tersenyum ketika melihat ustadz tersebut memberikan materinya.

"Ustadz, bagaimana jika umat non-muslim yang memberikan salam kepada kita? Apakah kita wajib menjawabnya? Lalu sebaliknya, bagaimana dengan kita, apakah kita sebagai umat muslim boleh memberi salam kepada mereka?" pembawa acara itu bertanya.

Sekali lagi aku tersenyum. Bukan karena ustadz yang usianya 30an sepantaran denganku, melainkan karena pertanyaan yang diajukan oleh pembawa acara yang terlihat cakap membawakan acara dialog rohani umat muslim ini.

"Memberi salam itu hukumnya sunnah, sedang menjawabnya, itu adalah wajib. Hanya saja, jawablah salam mereka dengan Wa'alaikum saja dan tidak lebih dari itu. Membalas salam yang diberikan oleh saudara lain kepercayaan itu tidak haram. Hukumnya makruh. Diperbolehkan." Kata ustadz tersebut. "Sedang bagi kita umat muslim, salam yang diucapkan itu diniatkan sebagai doa yang tidak lain adalah ibadah bagi umat muslim itu sendiri dan karenanya bersifat sakral. Jika seorang muslim ingin menghormati umat non-muslim, maka ia dapat menghormatinya dengan kalimat selain salam: An'amallahu shabahaka, yang berarti 'Semoga pagimu indah.'"

Kupandangi bunga Baby Breath yang ada di dalam vas yang aku letakkan di tepi jendela. Bunga yang aku favoritkan selama dua puluh empat tahun belakangan ini. Warna putihnya begitu indah dan tanpa cela. Ada banyak diperkebunan milikku.

Mataku tiba-tiba berair. Aku sendiri terkejut. Sudah lama aku tidak mengeluarkan air mata barang setetes pun. Aku tidak menyangka. Aku membutuhkan waktu selama dua puluh empat tahun untuk mengetahui jawaban dari pertanyaanku yang tidak pernah mau ia jawab dengan jelas.

Ya, aku mengenal ustadz itu...

Kenangan semasa kecil itu, samar-samar mulai muncul kembali. Sebuah episode yang bisa dikatakan bahagia dan sedih. Membaur menjadi satu kesatuan yang indah.

...Rafiq Nur Firdaus

Demikian nama yang tertulis di bagian footer layar televisi. Dan memang nama itu yang ada di dalam ingatanku.

.

.

.

.

.

[Bersambung ke Salam 1.]

___________________

Halo, ini aku nih (yang nulis). Kalo kalian suka ama ceritanya, pliss jangan lupa kasih like, rate ama comment buat aku ya. Gratis kok. Itu bakal jadi apresiasi banget buat aku. Ma'aciwh sebelumnya yah (wink).

*)Jangan komen kl ceritanya terlalu singkat, dimaklumi, ini baru prolognya. Muahahaha.

Shalom Aleichem Nui.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang